boemipoetra In A Time Of Universal Deceit, Telling The Truth Is A Revolutionary Act stay updated via rss
Archive for the ‘Esei’ Category
Pascamodernisme dan Masyarakat Konsumer Posted: 23/02/2014 in Esei Tags: Fredric Jameson, kritik sastra, Marxisme, Modernisme, pascamodernisme, pastiche, Pop Art, posmo, postmodernism, schizophrenia, teori sastra 0 (https://boemipoetra.wordpress.com/2014/02/23/pascamodernisme-dan-masyarakat-konsumer/cover-the-anti-aesthetic/)oleh Fredric Jameson* Konsep pascamodernisme tidak diterima atau bahkan dimengerti secara luas saat ini. Resistensi terhadapnya bisa jadi disebabkan oleh ketidakpahaman atas karya-karya yang dilahirkannya dalam semua cabang seni: puisi John Ashbery, misalnya, tapi juga puisi cakap (talk poetry) yang jauh lebih sederhana yang muncul sebagai reaksi terhadap puisi modernis yang kompleks, ironis dan akademis di tahun 60an; reaksi terhadap arsitektur modern dan khususnya terhadap bangunan-bangunan monumental kaum International Style, bangunan-bangunan pop dan decorated sheds yang dirayakan Robert Venturi dalam manifestonya, Learning from Las Vegas; Andy Warhol dan Pop Art, tapi juga Fotorealisme baru-baru ini; di musik, momen John Cage dan juga sintesa terakhir dari gaya klasik dan “populer” komposer-komposer seperti Philip Glass dan Terry Riley, dan juga musik punk dan new-wave rock dari grup-grup seperti Clash, Talking Heads dan Gang of Four; dalam film, semua yang dihasilkan Godardfilm dan video avantgarde kontemporer—tapi juga film-film komersial atau fiksi gaya baru, yang tandingannya terdapat dalam novel-novel kontemporer, dimana karya-karya William Burroughs, Thomas Pynchon dan Ishmael Reed di satu sisi dan novel baru Perancis di sisi lain, mesti juga dimasukkan sebagai variasi-variasi dari apa yang bisa disebut sebagai pascamodernisme. Daftar ini akan menjelaskan dua hal sekaligus: pertama, kebanyakan dari pascamodernisme-pascamodernisme yang disebut di atas muncul sebagai reaksi-reaksi khusus atas bentuk-bentuk mapan dari modernisme tinggi (high modernism), atas modernisme tinggi dominan ini atau itu yang telah menaklukkan universitas, museum, jaringan galeri seni dan yayasan-yayasan. Gaya-gaya yang dulu subversif dan menantang —Ekspresionisme Abstrak; puisi modernis Pound, Eliot atau Wallace Steven; International Style (Le Corbusier, Frank Lloyd Wright, Mies); Stravinsky; Joyce, Proust dan Mann—yang dianggap mengejutkan oleh kakek kita, bagi generasi yang sampai di panggung di tahun 1960an dirasakan sebagai sang kemapanan dan musuh—tonggak-tonggak reifikasi yang sudah mati, menyesakkan, keramat, yang mesti dihancurkan kalau sesuatu yang baru ingin diciptakan. Ini berarti terdapat banyak bentuk yang berbeda-beda dari pascamodernisme sebanyak modernisme tinggi yang ada, karena bentuk-bentuk tersebut paling tidak pada awalnya merupakan reaksi-reaksi lokal dan khusus melawan model-model yang ada. Ini tentu saja tidak membuat pekerjaan menjelaskan pascamodernisme sebagai sesuatu yang koheren menjadi lebih mudah, karena kesatuan dari impuls baru ini—kalau memang ada—hanya terdapat dalam modernisme yang ingin digantikannya. Ciri kedua dari daftar pascamodernisme-pascamodernisme di atas adalah kekaburan di dalamnya mengenai beberapa batasan penting, yang paling menyolok adalah erosi dari perbedaan lama antara budaya tinggi dan yang-disebut budaya massa atau populer. Ini mungkin merupakan perkembangan yang paling meresahkan dilihat dari sudut pandang kaum akademis, yang secara tradisional memiliki kepentingan sendiri (vested interest) dalam melestarikan sebuah dunia budaya tinggi atau elite yang terpisah dari lingkungan sekitarnya yang penuh dengan kebodohan (philistinism), schlock dan kitsch, budaya sinetron dan Reader’s Digest, dan dalam mewariskan keahlian membaca, mendengar dan melihat yang sulit dan kompleks kepada calon-calon anggota baru kelompok elite mereka. Tapi banyak dari pascamodernisme-pascamodernisme terbaru malah terpesona dengan keseluruhan landskap dari dunia periklanan dan motel-motel, strip Las Vegas, tontonan tengah malam dan film picisan Hollywood, dengan apa-yang-disebut sebagai parasastra (paraliterature) dengan cerita-cerita gothik dan roman airport paperback-nya, biografi populer, misteri pembunuhan dan novel fiksi ilmiah (science fiction) atau fantasi. Mereka tidak lagi “mengutip” dari “teks-teks” seperti yang mungkin dilakukan oleh seorang Joyce, atau seorang Mahler; mereka menggabungkan semuanya sampai ke titik dimana garis pemisah antara seni tinggi dan bentuk-bentuk komersial nampak makin sulit untuk dibuat. Sebuah indikasi yang agak berbeda mengenai pengaburan kategori-kategori lama antara genre dan discourse dapat ditemukan dalam apa yang kadang-kadang disebut sebagai teori kontemporer (contemporary theory). Satu generasi yang lalu masih terdapat sebuah wacana teknis (technical discourse) dari filsafat profesional—sistem-sistem besar filsafat Sartre atau kaum fenomenologis, karya Wittgenstein atau filsafat bahasa atau analitik—yang bisa dibedakan dari wacana disiplin-disiplin akademis lainnya—dari ilmu politik, misalnya, atau sosiologi atau kritik sastra. Sekarang kita makin lama makin banyak membaca sebuah jenis tulisan yang cuma disebut “teori” yang merupakan keseluruhan dari tapi sekaligus juga bukan hal-hal yang disebut di atas. Jenis wacana baru ini, biasanya dihubungkan dengan Perancis dan dengan apa-yang-disebut sebagai teori Perancis, makin bertambah luas pengaruhnya dan menandai berakhirnya filsafat sebagai filsafat. Apakah karya Michel Foucault, misalnya, akan disebut filsafat, sejarah, teori sosial atau ilmu politik? Hal ini tak bisa diputuskan, begitulah kata orang sekarang ini; dan saya usulkan agar “wacana teoritis” (theoretical discourse) seperti ini juga dimasukkan sebagai manifestasi dari pascamodernisme. Sekarang saya mesti menjelaskan tentang pemakaian yang sepantasnya dari konsep ini: ia bukanlah sekedar sebuah kata lain untuk menjelaskan sebuah gaya yang khusus. Ia juga, setidaknya dalam pemakaian saya, merupakan sebuah konsep periodesasi yang berfungsi untuk menghubungkan munculnya bentuk-bentuk formal baru dalam kebudayaan dengan kelahiran sebuah tipe kehidupan sosial baru dan sebuah orde ekonomi yang baru—apa yang secara eufemistis disebut sebagai modernisasi, masyarakat pascaindustri atau konsumer, masyarakat media atau tontonan, atau kapitalisme multinasional. Momen baru kapitalisme ini bisa ditelusuri dari masa boom pascaperang di Amerika Serikat di akhir tahun 1940an dan awal 1950an atau, di Perancis, dari berdirinya Republik Kelima di tahun 1958. Tahun 1960an dalam banyak hal merupakan periode transisi penting, periode dimana orde internasional yang baru (neokolonialisme, Revolusi Hijau, komputerisasi dan informasi elektronik) secara sekaligus tercipta dan tersapu serta tergoncang oleh kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri dan oleh perlawanan eksternal. Di sini saya ingin menggaris-besari beberapa cara pascamodernisme baru ini mengekspresikan kebenaran dalam (inner truth) dari orde sosial kapitalisme akhir yang baru muncul tersebut, tapi saya akan membatasi penjelasan saya dengan dua dari bentuk-bentuknya yang penting saja, yang akan saya sebut pastiche dan schizophrenia: keduanya akan memberikan kita kesempatan untuk melihat kekhasan dari pengalaman pascamodernis atas ruang dan waktu secara berurutan. Salah satu bentuk atau praktek terpenting dalam pascamodernisme saat ini adalah pastiche. Saya harus jelaskan dulu maksud istilah ini, yang umumnya cenderung dikacaukan ataupun diasimilasikan dengan gejala bahasa yang disebut parodi. Baik pastiche maupun parodi merupakan peniruan atau bahkan mimikri (mimicry) atas gaya-gaya lain dan terutama atas mannerisme dan loncatan-loncatan stilistik dari gaya-gaya lain. Sastra modern pada umumnya memang menyediakan kesempatan yang luas untuk parodi karena sastrawan-sastrawan modern besar semuanya menciptakan atau menghasilkan gaya-gaya yang cukup unik: lihatlah kalimat-kalimat panjang Faulkner, atau imaji-imaji alam khas D.H. Lawrence; Wallace Stevens dengan keunikan pemakaian abstraksi-abstraksinya; perhatikan juga mannerisme para filosof, Heidegger misalnya, atau Sartre; juga gaya musik Mahler atau Prokofiev. Semua gaya ini, bagaimanapun berbedanya satu dari yang lainnya, adalah sama dalam satu hal yakni: kekhasannya; kalau sebuah gaya sudah terpahami, tak mungkin akan terkacaukan lagi dengan gaya yang lain. Parodi memanfaatkan keunikan gaya-gaya ini dan memakai idiosinkrasi dan keeksentrikan gaya-gaya tersebut untuk menghasilkan tiruan yang mengejek karya yang asli. Saya tidak mengatakan bahwa impuls satire memang disengaja dalam semua bentuk parodi. Bagaimanapun, seorang parodis yang baik harus memiliki rasa simpati terpendam atas karya asli, sama seperti seorang peniru (mimic) yang baik harus mampu memahami orang yang ditirunya. Namun, efek umum dari parodi—baik yang bersimpati atau yang bermusuhan—adalah mengejek keunikan khas dari mannerisme stilistik tersebut serta kemubaziran dan keeksentrikannya bila dibandingkan dengan cara orang biasanya menulis atau berbicara. Jadi di balik semua parodi terdapat semacam keyakinan bahwa ada norma linguistik yang berbeda dari gaya-gaya para modernis besar dan yang bisa dipakai untuk mengejek gaya-gaya tersebut. Tapi apa yang akan terjadi bila kita tak percaya lagi pada eksistensi bahasa normal, bahasa sehari-hari, norma linguistik (katakanlah semacam jenis bahasa yang jelas dan memiliki kekuatan komunikatif seperti yang diunggulkan Orwell dalam eseinya yang terkenal itu, misalnya)? Kita bisa membayangkannya begini: mungkin fragmentasi dan privatisasi sastra modern yang begitu besar—ledakannya ke dalam segudang gaya pribadi dan mannerisme yang berbeda-beda—melatar-depani kecenderungan-kecenderungan yang lebih dalam dan umum dari kehidupan sosial seluruhnya. Sekiranyalah seni modern dan modernisme—jauh daripada sekedar semacam rasa ingin-tahu estetik yang khusus—memang mengantisipasi perkembangan sosial dalam garisgaris ini; sekiranyalah dalam beberapa dekade sejak munculnya gaya-gaya modern yang besar masyarakat sendiri memang mulai terpecah-pecah seperti ini, setiap kelompok mulai berbicara dalam bahasa pribadi anehnya masing-masing, setiap profesi mengembangkan kode atau idiolek masing-masing, dan akhirnya setiap individu menjadi semacam pulau linguistik, terpisah dari yang lainnya? Tapi kemudian kalau memang demikian halnya maka kemungkinan terdapatnya sebuah norma linguistik yang bisa dipakai untuk mengejek bahasa-bahasa pribadi dan gayagaya idiosinkratik akan lenyap, dan yang tinggal bagi kita hanyalah gaya-gaya yang bermacam ragam belaka. Di saat seperti inilah pastiche muncul dan parodi jadi tak mungkin lagi. Pastiche, seperti parodi, adalah tiruan dari sebuah gaya tertentu atau unik, pemakaian sebuah topeng stilistik, bicara dalam sebuah bahasa mati: tapi ini merupakan sebuah hal biasa dari peniruan macam begini, tanpa adanya maksud lain seperti pada parodi, tanpa impuls satire, tanpa tawa, tanpa adanya anggapan bahwa sesuatu yang normal memang benar-benar ada dan yang kalau dibandingkan dengan karya yang sedang ditiru maka yang ditiru itu jadi nampak agak lucu. Pastiche adalah parodi kosong, parodi yang telah kehilangan rasa humornya: pastiche bagi parodi adalah sama seperti praktek modern dari semacam ironi kosong (blank irony) bagi, apa yang oleh Wayne Booth disebut sebagai, ironi stabil dan komik dari abad 18 misalnya. Tapi sekarang kita perlu memperkenalkan sesuatu yang baru ke dalam teka-teki ini untuk membantu menjelaskan mengapa modernisme klasik adalah sesuatu dari jaman tempo doeloe dan mengapa pascamodernisme memang mesti menggantikannya. Komponen baru ini adalah sesuatu yang secara umum disebut sebagai “matinya sang subjek” atau, dalam bahasa yang lebih konvensional, berakhirnya individualisme sebagai individualisme. Modernisme-modernisme besar, seperti yang telah kita katakan, terjadi karena terciptanya sebuah gaya pribadi, unik dan khas seperti sidik jari atau tubuh kita. Ini berarti bahwa estetika modernis secara organis terkait dengan konsep diri dan identitas pribadi yang unik, kepribadian dan individualitas yang unik, yang menghasilkan visi dunianya sendiri yang unik serta membentuk gaya khasnya sendiri yang juga unik. Ternyata saat ini, dilihat dari berbagai perspektif yang berbeda-beda, para teoritikus sosial, psikoanalis, bahkan para linguis, belum lagi kita yang bekerja dalam bidang kebudayaan serta perubahan budaya dan formal, semuanya sedang membahas pendapat bahwa individualisme dan identitas pribadi seperti di atas adalah sesuatu yang sudah kadaluwarsa; bahwa individu atau subjek individualis yang lama itu sudah “mati”; dan bahkan kita bisa mengatakan bahwa konsep individu yang unik dan dasar teori dari individualisme tersebut bersifat ideologis. Nyatanya memang terdapat dua posisi atas hal ini, dimana yang satu lebih radikal daripada yang lainnya. Posisi pertama sudah puas hanya berkata: ya, pada jaman dahulu kala, pada jaman kapitalisme kompetitif klasik, pada masa jaya-jayanya keluarga inti (nuclear family) dan munculnya kaum borjuis sebagai kelas sosial yang dominan, memang ada sesuatu yang disebut sebagai individualisme, sebagai subjek individual. Tapi sekarang, di jaman kapitalisme korporasi, jaman yang-disebut sebagai jaman manusia organisasi, jaman birokrasi baik dalam bisnis maupun pemerintahan, jaman ledakan penduduk—sekarang ini, subjek individual borjuis lama itu sudah tak ada lagi. Kemudian ada posisi kedua, yang paling radikal dari keduanya, yakni apa yang bisa kita sebut sebagai posisi pascastrukturalis. Disamping setuju dengan posisi pertama di atas, posisi pascastrukturalis ini juga menambahkan bahwa: bukan saja subjek individual borjuis itu merupakan sesuatu yang sudah berlalu, tapi juga hanya sebuah mitos; pada dasarnya subjek tersebut memang tak pernah ada; tidak pernah ada subjek-subjek otonom seperti itu. Konstruk ini hanyalah sebuah mistifikasi filsafat dan budaya belaka untuk membuat kita yakin bahwa kita “memiliki” subjek-subjek individual dan identitas pribadi yang unik.
Untuk maksud esei ini tidaklah begitu penting untuk memutuskan mana dari kedua posisi tersebut yang benar (atau mana yang paling menarik dan produktif). Apa yang kita dapat dari semua ini adalah sebuah dilema estetik: karena kalau pengalaman dan ideologi dari diri yang unik itu, sebuah pengalaman dan ideologi yang mendasari proses kreatif modernisme klasik, memang sudah berlalu dan tak berlaku lagi, maka sekarang jadi tak jelas apa yang para seniman kontemporer mesti lakukan. Yang jelas hanyalah bahwa model-model lama—Picasso, Proust, TS Eliot —tidak terpakai lagi (atau sudah bersifat merusak), karena tak ada lagi orang yang memiliki dunia pribadi dan gaya yang unik seperti itu untuk diekspresikan. Dan ini mungkin bukan sekedar sebuah persoalan “psikologis” semata: kita juga mesti memperhitungkan bobot luar biasa dari tujuhpuluh atau delapanpuluh tahun modernisme klasik itu sendiri. Ada juga hal lain kenapa para seniman kontemporer tidak akan mampu lagi menciptakan gaya-gaya dan dunia-dunia baru—semuanya sudah diciptakan; hanya sejumlah kecil kombinasi gaya yang mungkin; kombinasikombinasi yang paling unik malah sudah dilakukan. Jadi bobot dari keseluruhan tradisi estetik modernis—sekarang sudah mati—juga “membebani seperti sebuah mimpi buruk dalam kepala orang-orang yang masih hidup,” seperti kata Marx dalam konteks yang lain. Makanya, sekali lagi, pastiche: di dunia dimana inovasi gaya sudah tak mungkin lagi, yang tinggal hanyalah peniruan gaya-gaya mati, bicara lewat topeng-topeng dan dengan suara-suara dari gaya-gaya dalam museum imajiner (imaginary museum). Tapi ini berarti bahwa seni kontemporer atau pascamodernis akan menjadi mengenai seni itu sendiri dalam sebuah cara yang baru; bahkan, ini berarti bahwa salah satu pesan utamanya akan berkaitan dengan perlunya kegagalan seni dan estetika, kegagalan dari yang baru, keterpenjaraan dalam masa lalu. Karena ini mungkin nampaknya sangat abstrak, saya ingin memberikan beberapa contoh, yang mana salah satunya begitu akrabnya dengan kita hingga jarang kita hubungkan dengan jenisjenis perkembangan dalam seni tinggi seperti yang dibahas di sini. Praktek khusus dari pastiche ini bukan budaya tinggi tapi budaya massa dan umumnya dikenal sebagai “film nostalgia” (apa yang dengan tepat disebut orang Perancis sebagai la mode rétrogaya retrospektif). Kita mesti mengartikan kategori ini dalam pengertiannya yang seluas-luasnya, kalau tidak, tak syak lagi, hanya akan menunjuk pada film-film tentang masa lampau dan tentang masa-masa tertentu dalam masa lampau tersebut. Salah satu film awal dari “genre” (kalau memang bisa dibilang begitu) baru ini adalah American Graffiti oleh Lucas, yang dalam tahun 1973 berusaha menggambarkan segala suasana dan kekhasan Amerika Serikat tahun 1950an, Amerika Serikat di era Eisenhower. Film Polanski Chinatown melakukan hal yang sama atas tahun 1930an, sama seperti The Conformist oleh Bertolucci untuk konteks Itali dan Eropa dari periode yang sama, era fascis di Itali; dan seterusnya. Kita bisa meneruskan daftar ini lebih panjang lagi; mengapa menyebutnya pastiche? Bukankah film-film tersebut lebih merupakan karya dalam genre yang lebih tradisional yang dikenal sebagai film sejarahkarya yang bisa dengan lebih sederhana diteorikan dengan membandingkannya dengan bentuk terkenal lainnya yaitu novel sejarah? Saya punya alasan mengapa kita memerlukan kategori-kategori baru untuk film-film demikian. Tapi baiklah terlebih dulu saya tambahkan beberapa anomali: seandainya saya sarankan bahwa Star Wars pun adalah sebuah film nostalgia. Apa artinya ini? Saya percaya kita bisa setuju bahwa film ini bukanlah sebuah film sejarah tentang masa lalu intergalaksi kita. Baiklah saya menjelaskannya dengan cara lain: salah satu pengalaman budaya terpenting generasi-generasi tahun ‘30an sampai ‘50an adalah acara serial tv hari Sabtu sore tipe Buck Rogerstokoh-tokoh alien yang jahat, pahlawan-pahlawan sejati Amerika, tokoh perempuan dalam bahaya, sinar maut atau kotak penyebab kiamat, dan ketakpastian cerita (cliffhanger) di akhir episode yang jawabannya baru bisa diketahui Sabtu sore berikutnya. Star Wars menciptakan kembali pengalaman ini dalam bentuk pastiche: yaitu bahwa tak ada lagi alasan untuk memparodi serial-serial jenis ini karena mereka sudah lama mati. Star Wars, jauh dari sekedar sebuah satire tak berarti atas bentuk-bentuk yang sekarang sudah mati ini, memuaskan rasa ingin yang dalam (haruskah saya katakan yang tertekan?) untuk mengalaminya kembali: ini merupakan sebuah objek yang kompleks dimana pada tingkat awal anak-anak dan remaja bisa langsung terlibat dalam ceritanya, sedangkan penonton yang lebih tua bisa memuaskan rasa nostalgia yang lebih dalam untuk kembali ke periode lampau tersebut dan untuk mengalami artefak estetiknya yang lama sekali lagi. Jadi film ini secara metonim adalah sebuah film sejarah atau nostalgia: tidak seperti American Graffiti, Star Wars tidak menciptakan kembali sebuah gambaran masa lalu dengan totalitas kehidupan sehari-harinya; tapi, dengan menciptakan kembali rasa dan bentuk dari objek-objek seni khas masa yang sudah lalu (serial-serial tv di atas tadi), film ini bertujuan membangkitkan sebuah suasana tempo doeloe yang diasosiasikan dengan objek-objek tersebut. Sementara itu Raiders of the Lost Ark menduduki posisi tengah di sini: pada satu level film ini adalah tentang tahun ‘30an dan ‘40an, tapi pada realitasnya juga mengungkapkan periode tersebut secara metonim melalui cerita-cerita petualangan ciri-khasnya (yang tak ada lagi sekarang). Sekarang baiklah saya diskusikan sebuah anomali menarik lainnya yang akan membawa kita lebih jauh lagi untuk memahami film nostalgia khususnya dan pastiche umumnya. Yang ini menyangkut sebuah film yang dibuat baru-baru ini berjudul Body Heat yang, seperti telah berulang kali ditunjukkan para kritikus, merupakan semacam pembuatan-kembali yang tak langsung atas film The Postman Always Rings Twice atau film Double Indemnity. (Plagiarisme yang jelas maupun tidak dari plot-plot lama tentu saja juga merupakan sebuah ciri dari pastiche.) Body Heat secara teknis bukanlah film nostalgia karena mengambil tempat di sebuah setting kontemporer, di sebuah kampung kecil Florida, dekat Miami. Di sisi lain, kekinian teknis ini sangat bersifat ambigu: daftar nama dalam film (credits)—biasanya petunjuk pertama kita—memakai huruf-huruf dan ditulis dalam gaya Art-Deco tahun 30an yang mau tak mau membangkitkan rasa nostalgia (pertama-tama kepada Chinatown tentu saja, dan lalu kepada referen yang lebih bersejarah). Kemudian gaya tokoh utamanya sendiri pun bersifat ambigu: William Hurt adalah seorang bintang baru tapi tidak memiliki gaya khas superstar laki-laki generasi sebelumnya seperti Steve McQueen atau bahkan Jack Nicholson, atau malah, persona-nya di sini adalah semacam gabungan karakteristik keduanya dengan sebuah peran-lakon yang agak lebih tua dari tipe yang umumnya diasosiasikan dengan Clark Gable. Jadi di sini pun terdapat sebuah suasana masa lampau dalam semuanya ini. Penonton mulai bertanya-tanya mengapa cerita ini, yang bisa ditempatkan di mana saja, mengambil tempat di sebuah kota kecil Florida, walau referensinya bersifat kontemporer. Selang beberapa waktu barulah kita sadari bahwa setting kota kecil ini memiliki sebuah fungsi strategis yang penting: ini memungkinkan film untuk dibuat tanpa terikutnya signal-signal dan referensi-referensi yang akan kita asosiasikan dengan dunia kontemporer, dengan masyarakat konsumer—peralatan rumahtangga dan artefak-artefak, gedung pencakar langit, dunia objek dari kapitalisme akhir. Jadi secara teknis objek-objeknya (mobil-mobilnya, misalnya) adalah produk tahun 1980an, tapi hal-hal lainnya dalam film merupakan semacam usaha pengaburan atas referensi kontemporer itu sendiri agar memungkinkannya diterima sebagai film nostalgia—sebagai sebuah naratif yang dibuat di sebuah masa silam yang tak terdefinisikan, masa 30an abadi, atau katakanlah, di luar sejarah. Saya lihat bahwa gejala merembet dan menguatnya gaya film nostalgia bahkan dalam film-film sekarang yang jelas punya setting kontemporer sudah keterlaluan: seolah-olah, karena bermacam alasan, kita tak mampu lagi sekarang memfokus kekinian kita, tak mampu lagi menghasilkan representasi estetis pengalaman-pengalaman sehari-hari kita sendiri. Jika memang demikian kenyataannya maka ini merupakan sebuah tuduhan luar biasa terhadap kapitalisme konsumer itu sendiri—atau paling tidak, sebuah simptom patologis yang mengkhawatirkan dari masyarakat yang telah jadi tidak mampu lagi berurusan dengan waktu dan sejarah. Sekarang kita kembali ke persoalan mengapa film nostalgia atau pastiche harus dipandang berbeda dari novel atau film sejarah yang lama. (Saya juga akan masukkan dalam diskusi ini contoh karya sastra utama dari gejala ini, yakni novel-novel E.L. Doctorow—Ragtime, dengan suasana akhir abad 19-nya, dan Loon Lake, yang sebagian besar tentang era 1930an kita. Bagi saya, novel-novel ini hanya penampilannya saja yang merupakan novel-novel sejarah. Doctorow adalah seorang seniman serius dan salah satu dari sedikit novelis Kiri atau radikal tulen yang berkarya saat ini. Tapi tidaklah merugikan baginya kalau saya mengatakan bahwa naratif-naratifnya tidak mewakili masa lalu kita tapi merupakan ide-ide stereotif budaya kita tentang masa lalu tersebut.) Produk budaya telah digiring balik ke dalam pikiran, ke dalam subjek monadik: tak ada lagi kesanggupan untuk melihat langsung ke dunia nyata tapi mesti, seperti dalam gua Plato, menelusuri imaji-imaji mental dunia pada dinding-dinding tertutupnya. Kalau masih ada realisme tersisa di sini, maka “realisme” ini merupakan hasil dari rasa terkejut dalam menerima kungkungan tadi dan dalam menyadari bahwa, karena alasan khusus apapun, kita nampaknya dikutuk untuk mengerti masa lalu kita melalui imaji-imaji pop dan stereotif kita sendiri tentang masa lalu yang selamanya di luar jangkauan kita itu. Sekarang saya ingin beralih ke apa yang saya lihat sebagai bentuk dasar kedua dari pascamodernisme, yakni hubungan khasnya dengan waktu—apa yang bisa disebut sebagai “tekstualitas” atau “écriture” tapi yang saya anggap lebih baik didiskusikan dengan memakai teori-teori schizophrenia saat ini. Tapi saya mesti terlebih dulu menjelaskan maksud dari pemakaian saya atas istilah ini untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman arti: yaitu lebih bersifat deskriptif dan bukan diagnostik. Saya sendiri tak percaya kalau ada dari seniman-seniman pascamodernis terpenting—seperti John Cage, John Ashbery, Philippe Sollers, Robert Wilson, Andy Warhol, Ishmael Reed, Michael Snow, bahkan Samuel Beckett sendiri—yang skizofrenik. Juga bukanlah bermaksud sebagai diagnosis budaya-dan-kepribadian dari masyarakat dan seni kita: banyak hal yang lebih jelek lagi yang bisa dikatakan tentang sistem sosial kita dibanding apa yang bisa ditawarkan oleh psikologi pop. Saya bahkan tidak begitu yakin kalau pandangan saya tentang skizofrenia yang akan saya paparkan—sebuah pandangan yang kebanyakan dikembangkan dalam karya psikoanalis Perancis Jacques Lacan—secara klinik akurat; tapi hal itu pun tidak jadi soal bagi tujuan saya.
Orisinalitas pemikiran Lacan dalam bidang ini adalah kesimpulannya bahwa skizofrenia pada dasarnya adalah sebuah kekacauan bahasa dan dalam menghubungkan pengalaman skizofrenia dengan keseluruhan pandangan tentang kemampuan penguasaan bahasa sebagai missing-link fundamental dalam konsep Freud tentang pembentukan jiwa yang dewasa. Ini dilakukannya dengan memberikan kita sebuah versi linguistik dari Oedipus Complex di mana persaingan Oedipus dideskripsikan bukan dalam bentuk individual biologis yang merupakan saingan atas perhatian sang ibu, tapi dalam apa yang disebutnya sebagai Nama-Sang-Bapak (the Name-of-the-Father), otoritas paternal yang sekarang dijadikan sebagai fungsi linguistik. Apa yang mesti kita ambil dari sini adalah ide bahwa psikosis, dan lebih khususnya lagi skizofrenia, timbul dari kegagalan sang anak untuk masuk dengan utuh ke dalam dunia ujaran dan bahasa (the realm of speech and language). Model bahasa Lacan adalah model strukturalis yang sudah ortodok saat ini, yang didasarkan pada konsep bahwa sebuah tanda linguistik memiliki dua (atau mungkin tiga) komponen. Sebuah tanda, sebuah kata, sebuah teks, di sini dijadikan model dari hubungan antara sebuah signifier—sebuah objek material, bunyi kata, naskah teks—dan sebuah signified, yaitu arti dari kata atau teks material tadi. Komponen ketiga adalah apa-yang-disebut “referent”, objek “sebenarnya” dari dunia “sebenarnya” yang jadi rujukan dari tanda—kucing sebenarnya sebagai lawan dari konsep tentang kucing atau bunyi “kucing”. Tapi bagi strukturalisme umumnya ada kecenderungan untuk melihat referensi itu sebagai semacam mitos, bahwa kita tidak bisa lagi bicara tentang yang “sebenarnya” secara eksternal atau objektif seperti itu. Jadi tinggal tanda itu sendiri dan kedua komponennya. Sementara itu gebrakan lain dari strukturalisme adalah usaha untuk menghilangkan konsep lama tentang bahasa sebagai penamaan (misalnya, Tuhan memberikan Adam bahasa untuk dipakai dalam menamai binatang-binatang dan tumbuhan di Taman Eden), yang melibatkan sebuah korespondensi satu-satu antara sebuah signifier dan sebuah signified. Memakai pandangan struktural kita tidak salah kalau menganggap bahwa kalimat-kalimat tidak bekerja seperti itu: kita tidak menerjemahkan signifier individual atau kata-kata yang membentuk sebuah kalimat ke dalam signifiednya satu-per-satu. Tapi kita baca keseluruhan kalimatnya dan dari hubungan antar kata-kata atau signifiernya barulah sebuah arti yang lebih menyeluruh—sekarang disebut “efek-arti”—diperoleh. Signified—mungkin juga bahkan ilusi atau bayangbayang dari signified dan dari arti pada umumnya—adalah sebuah efek yang dihasilkan oleh hubungan intern dari signifier material.
Semuanya ini menunjukkan skizofrenia sebagai putusnya hubungan antara signifier. Bagi Lacan, pengalaman temporalitas, waktu, masa lalu, masa kini, memori, berlanjutnya identitas pribadi atas bulan dan tahunkesadaran akan eksistensi atau pengalaman atas waktu itu sendiriadalah juga sebuah efek dari bahasa. Karena bahasa memiliki masa silam dan masa depan, karena kalimat bergerak dalam waktu, maka kita bisa memiliki apa yang nampaknya bagi kita sebagai sebuah pengalaman waktu yang konkrit dan langsung. Tapi karena seorang skizofrenik tidak mengerti artikulasi bahasa seperti ini, dia tidak memiliki pengalaman kontinyuitas waktu seperti kita, dan ditakdirkan untuk hidup dalam masa kini abadi, tak mengerti masa lalu maupun masa depannya. Dengan kata lain, pengalaman skizofrenik adalah sebuah pengalaman signifier material yang terisolasi, terputus, tak berlanjut, yang gagal untuk membentuk sebuah sikuens yang koheren. Seorang skizofrenik jadinya tak memiliki identitas pribadi seperti kita, karena kesadaran identitas kita tergantung pada kesadaran kita atas berlanjutnya sang “saya” dan “aku” (the “I” and the “me”) atas waktu. Di sisi lain, seorang skizofrenik jelas memiliki pengalaman masa kini yang lebih intens daripada kita, karena masa kini kita selalu merupakan bagian dari kesatuan skema yang lebih besar yang memaksa kita untuk secara selektif memfokus persepsi kita. Dengan kata lain, kita tidak begitu saja secara global menerima dunia luar sebagai sebuah visi yang seragam: kita selalu terlibat dalam penggunaannya, dalam menelusuri jalan-jalan tertentu di dalamnya, dalam berhubungan dengan objek atau orang ini atau itu di dalamnya. Seorang skizofrenik tidak hanya “bukan siapa-siapa” dalam arti tidak memiliki identitas pribadi tapi juga tidak berbuat apa-apa, karena untuk memiliki sebuah rencana berarti ada kemampuan untuk melibatkan diri kepada sebuah kontinyuitas tertentu atas waktu. Jadi seorang skizofrenik memiliki visi dunia yang seragam dalam waktu masa kini, sebuah pengalaman yang jelas tidak menyenangkan: “Saya ingat jelas sekali hari terjadinya. Kami menginap di luar kota dan saya sedang jalan-jalan sendirian seperti yang kadang-kadang saya lakukan. Tiba-tiba, waktu saya melewati sekolah itu, saya mendengar sebuah lagu Jerman; murid-murid sedang belajar menyanyi. Saya berhenti untuk mendengar, dan pada saat itu sebuah perasaan aneh menyergap saya, sebuah perasaan yang sulit untuk dimengerti tapi dekat dengan sesuatu yang kelak akan sangat saya pahamisebuah perasaan ketaknyataan (unreality) yang mengganggu. Rasanya saya tak lagi mengenali sekolah itu, yang sudah jadi sebesar barak; anak-anak yang bernyanyi itu adalah para tahanan, dipaksa untuk bernyanyi. Rasanya seakan-akan sekolah dan nyanyian anak-anak itu terpisah dari dunia sekitarnya. Dalam waktu yang bersamaan mata saya tertumbuk pada sebuah ladang gandum yang batas-batasnya tak bisa saya lihat. Kekuningan yang luas, menyilaukan diterpa matahari, ditambah dengan nyanyian anak-anak yang terpenjara dalam barak-sekolah dari batu mulus licin itu, membangkitkan rasa cemas yang dahsyat dalam diri saya hingga saya menangis terisak-isak. Saya berlari pulang ke kebun kami dan mulai bermain “untuk membuat segalanya nampak seperti biasanya”, yakni kembali ke realitas. Itulah kemunculan awal elemen-elemen yang selalu hadir dalam sensasi-sensasi unreality di kemudian hari: keluasan yang tak terbatas, cahaya terang-benderang, serta kelicinan dan kemulusan benda-benda material.” (Marguerite Séchehaye, Autobiography of a Schizophrenic Girl.) Perhatikanlah bahwa begitu kontinyuitas waktu terputus, pengalaman kekinian menjadi benar-benar nyata dan bersifat “material”: bagi si skizofrenik dunia jadi lebih tinggi intensitasnya, menimbulkan semacam kesan yang misterius dan menekan, bersinar dengan energi khayalan. Tapi apa yang bagi kita nampak sebagai sebuah pengalaman yang diinginkanmenguatnya persepsi kita, intensifikasi libidinal atau hallucinogenic atas lingkungan kita yang biasanya akrab dan monotondi sini dirasakan sebagai sebuah kehilangan, sebuah “ketaknyataan”. Apa yang ingin saya tekankan adalah bagaimana signifier yang terisolasi jadi makin materialatau lebih tepat lagi, lebih literaljadi lebih nyata sensasinya, walau pengalaman baru tersebut menyenangkan atau menakutkan. Kita bisa menunjukkan hal yang sama dalam dunia bahasa: apa yang diakibatkan oleh peristiwa terputusnya bahasa secara skizofrenik atas kata-kata individual yang ada adalah me-reorganisasikan subjek atau pembicara kepada semacam pemahaman yang lebih literal terhadap kata-kata tersebut. Lagi, dalam ujaran yang normal, kita mencoba melihat melalui materialitas kata-kata (bunyi-bunyi aneh dan ujud cetaknya, nada suara dan aksen khas saya, dan sebagainya) untuk sampai pada artinya. Begitu arti hilang, maka materialitas kata-kata jadi bersifat obsesif, seperti dalam kasus di mana anak-anak mengulang-ulang sebuah kata terus-menerus hingga artinya hilang dan kata tersebut jadi sebuah mantera yang tak bisa dimengerti. Kembali ke deskripsi awal kita di atas, sebuah signifier yang telah kehilangan signifiednya jadinya berubah menjadi sebuah imaji. Pengelanturan yang panjang tentang schizophrenia ini memungkinkan kita untuk menambah sebuah feature yang dalam deskripsi awal di atas belum betul-betul kita bahasyaitu waktu itu sendiri. Kita jadinya mesti memindahkan diskusi pascamodernisme kita sekarang dari seni visual ke yang bersifat temporalke musik, puisi dan jenis-jenis teks naratif tertentu seperti karyakarya Beckett. Siapa saja yang pernah mendengar musik John Cage mungkin saja mengalami hal-hal yang baru saja dibicarakan di atas: frustrasi dan resahmusik yang hanya terdiri dari sebuah chord atau note tunggal diikuti oleh kebisuan yang begitu lama hingga kita tak bisa lagi mengingat apa yang terjadi sebelumnya, kebisuan yang kemudian menghilang terlupakan oleh bunyi hingar-bingar aneh yang baru yang kemudian juga menghilang. Pengalaman begini bisa diilustrasikan melalui banyak bentuk produksi budaya saat ini. Di bawah ini saya pilih sebuah teks dari seorang penyair muda, sebagian karena “grup” atau “aliran”-nyadikenal sebagai Language Poetsdalam banyak hal membuat pengalaman terputusnya waktupengalaman yang dideskripsikan dalam esei ini dalam pengertian bahasa skizofreniksebagai hal utama bagi eksperimen-eksperimen bahasa mereka dan bagi apa yang biasanya mereka namakan “Kalimat Baru”. Sajak ini berjudul “Cina” karya Bob Perelman (bisa ditemukan dalam koleksi barunya Primer, terbitan This Press di Berkeley, California): “Kita hidup di dunia ketiga dari matahari. Nomor tiga. Tak ada yang memberitahu kita apa yang mesti kita lakukan. Orang-orang yang mengajar kita menghitung sedang berbaik hati. Ini selalu waktunya untuk pergi. Jika turun hujan, kau mungkin membawa payung mungkin tidak. Angin menerbangkan topimu. Matahari terbit juga. Bagiku lebih baik bintang-bintang tidak menjelaskan kita pada sesama kita; bagiku lebih baik kita sendiri yang melakukannya. Larilah ke depan bayanganmu. Seorang adik perempuan yang menunjuk ke langit setidaknya sekali satu dekade adalah seorang adik yang baik. Landskap dimotorisasi. Kereta api membawamu ke mana dia pergi. Jembatan-jembatan di antara air. Orang-orang berjalan tak teratur sepanjang lapangan semen yang luas, menuju ke pesawat. Jangan lupa bagaimana topi dan sepatumu kelihatannya nanti waktu kau tak bisa ditemukan. Bahkan kata-kata yang terapung di udara membuat bayangan-bayangan biru. Kalau rasanya enak akan kita makan. Daun-daun berguguran. Menunjukkan segalanya. Pilihlah hal-hal yang tepat. Hei coba terka? Apa? Aku sudah belajar bagaimana berbicara. Bagus. Orang yang kepalanya tak lengkap itu menangis. Begitu jatuh, apa yang bisa dilakukan boneka itu? Tak ada. Pergilah tidur. Kau nampak gagah pakai celana pendek. Dan bendera itu pun nampak bagus. Setiap orang menyukai letusan-letusan itu. Waktunya untuk bangun. Tapi lebih baik jadi terbiasa dengan mimpi.” Sekarang mungkin ada yang keberatan, bahwa ini bukanlah tulisan skizofrenik yang sebenarnya dalam pengertian kliniknya; tidak begitu tepat kalau dikatakan bahwa kalimat-kalimat ini adalah signifier material yang berdiri sendiri yang signifiednya telah hilang. Nampaknya memang ada semacam arti global di sini. Memang, sejauh karya ini secara aneh merupakan sebuah sajak politik, sajak ini nampaknya berhasil menangkap kesan-kesan dari eksperimen sosial raksasa yang tak terselesaikan oleh negeri Cina baru, yang tak tertandingi dalam sejarah dunia: kemunculan yang tak terduga-duga, di antara dua superpower, dari “nomor tiga”; kesegaran dari sebuah dunia-objek yang benar-benar baru yang dihasilkan manusia-manusia yang memegang kontrol baru atas nasib kolektifnya sendiri; peristiwa pertanda, khususnya, tentang sebuah kolektivitas yang telah menjadi sebuah “subjek sejarah” baru dan yang, setelah begitu lama di bawah feodalisme dan imperialisme, bicara dalam suaranya sendiri, untuk dirinya sendiri, untuk pertama kalinya (“Hei coba terka? … Aku sudah belajar bagaimana berbicara.”). Namun arti yang demikian melayang di atas teks atau di belakangnya. Kita tak bisa, saya pikir, membaca teks ini menurut kategori-kategori New Critic yang lama dan berusaha mencari hubungan-dalam dan tekstur kompleks yang jadi ciri-khas “universal konkrit” lama modernisme-modernisme klasik seperti dalam karya Wallace Stevens. Karya Perelman, dan Language Poetry umumnya, berhutang kepada Gertrude Stein dan kepada aspek-aspek tertentu dari Flaubert. Jadi bukan tidak pada tempatnyalah kalau pada titik ini untuk menyisipkan sebuah pendapat lama tentang kalimat-kalimat Flaubert dari Sartre, yang menunjukkan kekuatan rasa dari gerakan kalimat-kalimat dimaksud: “Kalimatnya bergerak mengitari objeknya, menangkapnya, mengimmobilisasinya, dan mematahkannya, melilitnya, berubah jadi batu dan mematikan objeknya bersama dirinya. Kalimatnya buta dan tuli, tak berdarah, tak memiliki napas hidup; sebuah kebisuan yang dalam memisahkannya dari kalimat berikutnya; jatuh ke dalam kehampaan, selamanya, dan membawa korbannya bersamanya. Tiap realitas, sekali dijelaskan, jadi terhapus dari daftar.” (Jean-Paul Sartre, What Is Literature?) Deskripsi ini merupakan deskripsi yang antagonistik, dan kekuatan Perelman secara historis agak berbeda dari praktek Flaubertian yang merusak ini. (Bagi Mallarmé, seperti yang pernah diobservasi Barthes dalam kasus yang sama, kalimat, kata, adalah sebuah cara untuk membunuh dunia luar.) Namun hal ini mengungkapkan misteri kalimat yang jatuh dalam kehampaan kebisuan yang begitu besar hingga untuk sementara waktu kita sangsi apa kalimat yang baru mungkin timbul untuk menggantikannya. Tapi sekarang rahasia sajak ini mesti diungkapkan. Sajak ini sedikit mirip Fotorealisme, yang nampaknya seperti sebuah proses kembali ke representasi setelah abstraksi-abstraksi antirepresentasi dari Ekspresionisme Abstrak, sampai orang mulai sadar bahwa lukisan-lukisan ini juga tidak benar-benar realistis, karena apa yang direpresentasikan bukanlah dunia luar atau, dengan kata lain, imaji dunia luar. Sebagai realisme yang salah, lukisan-lukisan tersebut sebenarnya adalah seni tentang seni lain, imaji dari imaji lain. Dalam kasus kita, objek yang direpresentasikan bukanlah Cina sama sekali: apa yang terjadi adalah bahwa Perelman melihat sebuah buku foto di sebuah toko alat-tulis di Chinatown, sebuah buku yang captions dan hurufhurufnya jelas cuma kata-kata tak terpahami (atau akan kita sebut signifier material?) baginya. Kalimat-kalimat sajaknya adalah captions-nya untuk gambar-gambar tersebut. Referen-nya adalah imaji-imaji lain, teks lain, dan “kesatuan” sajak tersebut bukan di dalam teksnya sama sekali tapi di luarnya di dalam kesatuan sebuah buku yang absen. Sekarang saya akan coba dengan cepat sebagai kesimpulan untuk menjelaskan sifat hubungan produksi budaya macam begini dengan kehidupan sosial (di Amerika Serikat) saat ini. Ini juga waktunya untuk memberikan keberatan utama atas konsep-konsep pascamodernisme dari jenis yang sudah saya sketsakan di sini: yakni bahwa semua hal yang telah kita sebutkan tidaklah baru tapi berlimpah terdapat dalam modernisme atau apa yang saya namakan modernisme tinggi. Bukankah Thomas Mann juga tertarik dengan ide pastiche, dan bukankah bab-bab tertentu dari Ulysses merupakan realisasinya yang paling nyata? Bukankah kita menyebut Flaubert, Mallarmé dan Gertrude Stein dalam pembicaraan kita tentang temporalitas pascamodernisme? Apa yang baru dari semua ini? Apakah kita benar-benar memerlukan konsep dari sebuah pascamodernisme? Satu jenis jawaban atas pertanyaan ini akan mengangkat keseluruhan isu dari periodesasi dan bagaimana seorang sejarawan (sastra atau yang lainnya) menentukan pemisahan radikal antara dua periode yang berbeda ini. Saya harus membatasi diri pada usulan bahwa pemisahan radikal antara periode umumnya tidak melibatkan perubahan isi yang komplet tapi lebih merupakan restrukturasi dari jumlah elemen tertentu yang sudah diberikan: hal-hal yang pada periode atau sistem sebelumnya tidak dominan sekarang jadi dominan, dan yang sebelumnya dominan jadi kurang begitu penting lagi. Dalam pengertian ini semuanya yang telah kita deskripsikan di sini bisa ditemukan dalam periode-periode sebelumnya dan terutama dalam modernisme: maksud saya adalah bahwa sampai saat ini hal-hal tersebut adalah sifat-sifat minor atau nomor dua saja dari seni modernis, lebih marjinal daripada sentral, dan kita akan memiliki sesuatu yang baru kalau ini menjadi sifat-sifat utama dari produksi budaya. Tapi saya bisa mengargumentasikannya lebih jelas lagi dengan berbalik ke hubungan antara produksi budaya dan kehidupan sosial umumnya. Modernisme yang lama atau klasik adalah sebuah seni oposisional; muncul dalam masyarakat bisnis jaman Guild (Eropa) sebagai bersifat skandal dan ofensif bagi publik kelas-menengahnyaburuk, kasar, bohemian, mengejutkan secara seksual. Sesuatu yang bisa dimain-mainkan (kalau polisi belum dipanggil untuk menyita buku-buku atau menutup pameran): sebuah penghinaan atas selera baik dan pikiran sehat, atau, seperti apa yang mungkin dikatakan Freud dan Marcuse, sebuah tantangan provokatif atas prinsip-prinsip realitas dan pertunjukan yang menguasai kalangan masyarakat kelas-menengah abah 20 awal. Modernisme secara umum tidak cocok dengan perabotan jaman Victoria yang berlebihan, dengan tabu-tabu moral jaman Victoria, atau dengan konvensi-konvensi masyarakat sopan. Ini maksudnya adalah bahwa apapun kandungan politik eksplisit modernisme tinggi utama, dalam cara-caranya yang biasanya implisit selalu saja ia berbahaya dan eksplosif, subversif bagi orde yang mapan. Kalau kemudian kita kembali ke masa kini, kita bisa mengukur besarnya perubahan budaya yang telah terjadi. Bukan saja Joyce dan Picasso tidak lagi aneh dan memuakkan, mereka telah menjadi klasik dan sekarang manpak agak realistis bagi kita. Sementara itu sedikit sekali baik bentuk maupun isi dari seni kontemporer yang dianggap tak bisa diterima dan bersifat skandal oleh masyarakat kontemporer. Bentuk-bentuk paling ofensif dari seni inisebutlah punk rock, atau apa yang disebut materi seks yang eksplisitsemuanya diterima begitu saja oleh masyarakat, dan sukses secara komersial, tidak seperti produksi-produksi dari modernisme tinggi yang lama. Tapi ini berarti bahwa kalau seni kontemporer memiliki semua sifat yang sama dengan modernisme yang lama, seni kontemporer masih belum tegar posisinya dalam kebudayaan kita. Dalam satu hal produksi komoditi dan khususnya pakaian, perabotan, gedung-gedung dan artefak-artefak lainnya sekarang ini terkait erat dengan perubahan-perubahan stilistik yang diakibatkan oleh eksperimentasi artistik; dunia iklan, misalnya, penuh dengan pascamodernisme dari semua cabang seni dan tak terbayangkan tanpanya. Dalam hal lain, karya-karya klasik modernisme tinggi sekarang jadi bagian dari yang-disebut canon dan diajarkan di sekolah-sekolah dan universitas-universitasyang segera mengempeskannya dari kekuatan subversifnya yang lama. Memang, satu cara untuk menandai pemisahan antara periode-periode tersebut dan untuk memberikan tanggal munculnya pascamodernisme terdapat di sini: di saat (awal tahun 1960an, kira-kira) di mana posisi modernisme tinggi dan estetika dominannya jadi mapan di dunia akademis dan karenanya dianggap bersifat akademis oleh keseluruhan generasi baru penyair, pelukis dan pemusik. Tapi kita bisa juga menentukan pemisahan tersebut dari sisi lain, dan menjelaskannya dalam konteks periode-periode kehidupan sosial baru-baru ini. Seperti yang telah saya usulkan, kaum non-Marxis dan Marxis sama-sama yakin bahwa pada selang waktu tertentu setelah Perang Dunia II telah muncul sebuah masyarakat yang baru (dengan bermacam-macam sebutan seperti masyarakat pascaindustri, kapitalisme multinasional, masyarakat konsumer, masyarakat media, dan lain-lain). Tipe-tipe konsumsi yang baru; pemborosan terencana; perubahan-perubahan fashion dan style yang terus bertambah cepat; penetrasi tak tertandingi oleh iklan, televisi dan media umumnya atas keseluruhan masyarakat; bertukarnya pertentangan lama antara kota dan desa, pusat dan provinsi, dengan suburb dan dengan standarisasi universal; bertambahnya jaringan kerja superhighway dan munculnya kebudayaan otomobilini adalah beberapa hal yang nampaknya akan menandai pemisahan radikal dengan masyarakat pra-Perang Dunia II di mana modernisme tinggi masih merupakan sebuah kekuatan bawah tanah. Saya yakin bahwa munculnya pascamodernisme berkaitan erat dengan munculnya momen baru kapitalisme konsumer atau multinasional akhir ini. Saya juga yakin bahwa ciri-ciri formalnya dalam banyak hal merupakan ekspresi logis lebih dalam dari sistem sosial khusus tersebut. Walau begitu saya hanya bisa menunjukkan hal ini untuk satu tema utama: yaitu hilangnya kesadaran sejarah, cara bagaimana keseluruhan sistem sosial kontemporer kita sedikit demi sedikit mulai kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan masa lalunya, mulai hidup dalam kekinian abadi dan dalam perubahan abadi yang memusnahkan jenis-jenis tradisi yang keseluruhan formasi sosial sebelumnya berusaha dengan berbagai cara untuk melestarikannya. Ambil saja sebagai contoh usangnya berita oleh media: bagaimana Nixon dan, bahkan lebih lagi, Kennedy sekarang jadi figur-figur dari masa lalu yang jauh. Kita jadi tergoda untuk mengatakan bahwa fungsi sebenarnya dari media berita adalah mencampakkan pengalaman-pengalaman sejarah baru seperti itu secepat mungkin ke masa lalu. Fungsi informasi media jadinya adalah membantu kita untuk lupa, untuk jadi agen dan mekanisme amnesia historis kita. Tapi dalam kasus tersebut kedua ciri pascamodernisme yang telah saya bicarakan di sinitransformasi realitas ke dalam imaji-imaji, fragmentasi waktu ke dalam seri-seri masa kini abadisecara luar biasa konsisten dengan proses ini. Kesimpulan saya di sini mesti berbentuk sebuah pertanyaan tentang nilai seni baru ini. Ada semacam persetujuan bahwa modernisme yang lama berfungsi melawan masyarakatnya dengan cara-cara yang secara bervariasi disebut sebagai kritis, negatif, bersaing, subversif, oposisional dan sebagainya. Bisakah hal yang sama dinyatakan atas pascamodernisme dan momen sosialnya? Kita telah saksikan bahwa ada cara di mana pascamodernisme mereplika atau mereproduksimenguatkanlogika kapitalisme konsumer; pertanyaan yang lebih penting lagi adalah apa juga ada cara bagi pascamodernisme untuk melawan logika tersebut. Tapi pertanyaan ini mesti kita biarkan terbuka.*** *Fredric Jameson, kritikus dan teoritikus sastra Marxis Amerika, terkenal atas analisisnya atas kecenderungan-kecenderungan budaya kontemporer Diterjemahkan oleh Saut Situmorang dari esei “Postmodernism and Consumer Society” dari buku The Anti-Aesthetic: Essays On Postmodern Culture, (Ed) Hal Foster, Bay Press 1985, Port Townsend, Washington
Sastra Kontekstual Posted: 27/01/2014 in Esei Tags: Arief Budiman, Ariel Heryanto, Engels, Lenin, Manifesto Komunis, Marx, Marxisme, perdebatan, Perdebatan Sastra Kontekstual, polemik, Sastra Indonesia, Sastra Kontekstual, Saut Situmorang, sosiologi seni, Trotsky, Uni Soviet 1 (https://boemipoetra.wordpress.com/2014/01/27/sastra-kontekstual/cover-buku-perdebatan-sastra-kontekstual/)oleh Saut Situmorang*
Polemik atas apa yang disebut sebagai “sastra kontekstual” di media massa terbitan pulau Jawa di pertengahan tahun 1980an bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang (berpretensi) mempersoalkan isu tradisi dan bakat individu dalam sastra Indonesia. Arief Budiman dan Ariel Heryanto, kedua tokoh utama yang gencar mempropagandakan apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “sastra kontekstual” tersebut, yakin bahwa tradisi “bersastra” dalam sastra Indonesia, yang mereka klaim sebagai tradisi “sastra universal” itu, merupakan tradisi yang “tidak berakar” dalam realitas kehidupan Indonesia, “kebaratbaratan”, makanya “teralienasi”, “menjadi asing di negerinya sendiri” (lihat buku Perdebatan Sastra Kontekstual, 1985, susunan Ariel Heryanto). Apa yang jadi masalah dalam sastra Indonesia, menurut Arief Budiman, misalnya, adalah “kenyataan” bahwa “sastra Indonesia tidak akrab dengan publiknya. Atau lebih tepat, publiknya adalah kritikus-kritikus yang berwawasan kesusastraan Barat”. Karena itu, sastra Indonesia “ibarat pohon, dia tidak bisa tumbuh, karena tidak punya tanah. Dia hanya menggapai-gapai ke atas. Sedangkan akarnya tidak menyentuh tanah”. Sastrawan Indonesia, menurut Arief Budiman lagi, menulis hanya untuk “audience yang ada di Barat”, “sastrawan-sastrawan atau kritisi Barat”, tapi ironisnya justru “tidak diakui oleh dunia Barat”, yang oleh Arief direpresentasikan oleh Hadiah Nobel Sastra yang belum pernah dimenangkan oleh sastrawan Indonesia itu, sehingga akibatnya secara psikologis sastrawan Indonesia memiliki karakter kombinasi dari “perasaan megalomaniak dan rendah diri”. Megalomaniak karena membodoh-bodohkan bangsanya sendiri yang gagal menghargai karya sastranya, dan rendah diri karena karyanya belum dapat dihargai oleh orang-orang Barat. Demikianlah “kritik sosiologi sastra” ala sosiolog Arief Budiman. Membaca kembali tulisan-tulisan Arief Budiman dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual tersebut ada beberapa hal yang mencengangkan saya, terutama kalau saya mempertimbangkan reputasi Arief Budiman di dunia intelektual Indonesia selama periode Orde Baru. Reputasi Arief Budiman yang saya maksudkan itu mungkin akan lebih jelas teruraikan dengan kutipan pendapat Ariel Heryanto dari bagian “pendahuluan” buku Perdebatan Sastra Kontekstual di bawah ini: Arief Budiman mempunyai kombinasi kualitas yang jarang sekali dimiliki oleh warga masyarakat kita pada umumnya. Ia tidak hanya populer di kalangan pengamat “sastra” (atau “seni” umumnya) di Indonesia masa ini, tetapi juga kaum sekolahan yang menjadi bagian (ter)penting dari pembaca media-massa, termasuk mereka yang tidak benar-benar tertarik pada masalah “sastra”. Ia tidak saja berotak cemerlang dan berkepribadian kokoh. Gagasan-gagasannya yang segar dan tajam berkali-kali menimbulkan kontroversi besar di antara para cendekiawan. Dengan mengutip secara panjang pendapat Ariel di atas tentang sosok intelektual Arief Budiman, saya hanya ingin menekankan betapa besarnya kekecewaan intelektual saya waktu membaca tulisan-tulisannya tentang “sastra kontekstual” dalam buku susunan Ariel tersebut. Pertama, Arief Budiman mengklaim bahwa apa yang ingin dikemukakannya dalam ceramahnya “Sastra yang Berpublik” di Sarasehan Seni di Solo, 28 Oktober 1984, yang menjadi pemicu terjadinya perdebatan sastra kontekstual tersebut adalah “mengenai sosiologi kesenian”. Dia bahkan yakin bahwa apa “Yang saya bahas kebanyakan berlaku untuk kesusastraan, tapi saya kira untuk batas-batas tertentu juga merupakan persoalan di bidang kesenian umumnya”. Persoalan itu adalah persoalan “kesusastraan”, atau seni, “yang berpublik”. Atau apa yang oleh Ariel Heryanto disebut sebagai “sastra kontekstual” itu. Bagi saya, pembicaraan Arief Budiman, baik dalam ceramahnya itu maupun di tulisan-tulisannya di media massa setelah itu, bukanlah sebuah “sosiologi kesenian”. Terlalu gampang dia mengklaim pendapat-pendapatnya tersebut sebagai sebuah “sosiologi” hanya karena dia dikenal sebagai seorang “sosiolog”. Apa yang dinyatakannya tentang sastra Indonesia dalam semua tulisannya pada dasarnya hanya klaim-klaim asersif, atau kesimpulan-kesimpulan mentah, yang satu kali pun tidak pernah (mampu) dibuktikannya. Misalnya pernyataannya bahwa (tradisi) sastra Indonesia adalah “sastra universal” yang “tidak berakar” dalam realitas kehidupan Indonesia. Apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan “sastra universal” itu? Apakah sastra di “Barat” memang merupakan contoh dari “sastra universal” yang dimaksudkannya? Apa kriterianya? Juga, “Barat” yang mana yang dia maksud sebagai “Barat” dalam pernyataan-pernyataan xenofobiknya itu: Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Timur yang dalam konteks terjadinya perdebatan sastra kontekstual itu merupakan bagian dari imperium Uni Soviet? Apakah sastra Selandia Baru yang berbahasa Inggris yang kuat unsur budaya lokal Maorinya itu, misalnya, termasuk “sastra Barat” itu? Atau karya-karya para sastrawan Afro-Amerika seperti Langston Hughes, Ralph Ellison, Alice Walker, dan Toni Morrison? Arief juga mengklaim bahwa Hadiah Nobel Sastra merupakan semacam standar artistik bagi apa yang disebutnya sebagai “sastra universal”, “sastra yang kebarat-baratan” itu, sambil melecehkan kenyataan betapa Tagore dari India dan Kawabata dari Jepang juga mendapatkan penghargaan Nobel dengan menyatakan bahwa kedua sastrawan Asia ini dipilih karena “sedikit banyak mereka memenuhi standar penulisan orang-orang di dunia Barat”! Tapi Arief Budiman lagi-lagi tidak mampu menjelaskan apa yang dimaksudkannya sebagai “standar penulisan orang-orang di dunia Barat” itu, atau paling tidak apa karakteristik karya sastra yang jadi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Bagaimana kita bisa percaya bahwa dia memang sedang melakukan sebuah “sosiologi kesenian” kalau isi dari semua pembicaraannya cuma repetisi dari klaim-klaim asersif yang tanpa bukti-bukti alias tergantung pada kata hatinya belaka! Kekecewaan kedua saya adalah bahwa kegagalan teoritis ini makin diperparah oleh kenyataan betapa Arief Budiman, dan Ariel Heryanto, malah tidak mampu memberikan elaborasi konseptual atas apa sebenarnya yang mereka maksud sebagai “sastra kontekstual” itu sendiri, kecuali bahwa “sastra kontekstual” itu adalah “sastra yang berpublik”, “sastra yang tidak kebarat-baratan”, “sastra yang berpijak di bumi”! Ketimbang memberikan penjelasan, kita malah dicekoki dengan slogan-slogan yang cuma makin mengaburkan isu apa sebenarnya yang ingin mereka bicarakan. Terakhir, kalau kita bandingkan “bahasa” yang dipakai Arief Budiman dalam “perdebatan” tentang “sastra kontekstual” dengan bahasa S Takdir Alisjahbana dan lawan-lawannya dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930an, maka terlihatlah betapa parahnya kemerosotan “bahasa intelektual” Arief Budiman. Bukan saja dia mengulang-ulang-tanpa-elaborasi apa-apa yang sudah pernah dinyatakannya sebelumnya, dia juga terjatuh kepada bahasa vulgar yang sangat tidak sesuai dengan pretensi sosiologis tulisan-tulisannya, seperti pemakaian istilah-istilah kolokuial semacam “megalomaniak”, “astaga, tahi kerbo apa ini!”, atau “teler minum bir”. Terutama soal “teler minum bir” ini, dari mana Arief Budiman tahu bahwa kalau seseorang itu menulis esei, sebaiknya dia tidak dalam keadaan mabuk bir? Apakah ini juga merupakan bagian dari “sosiologi sastra” ala Arief Budiman atau sekedar sebuah catatan pinggir otobiografis?! Persoalan “sosiologi sastra” adalah sebuah persoalan kontekstual dalam dunia sastra di mana saja, kapan saja. Merupakan sebuah persoalan universal sastra. Dari perspektif “kritik sastra”, sastra adalah sesuatu yang otonom, sebuah dunia sendiri, dan harus dipahami melalui struktur intrinsiknya, atau arsitektur tekstualnya, seperti imajeri, metafor, irama, penokohan, alur cerita, dan sebagainya, atau apa yang oleh kaum Formalis Rusia disebut sebagai “kesastraan”nya. Menyatakan bahwa sastra hanyalah ekspresi dari kepentingan kelas sosial belaka, atau cuma sebuah epifenomena dari struktur sosial, atau sebuah refleksi/cermin dari kehidupan atau zaman sang pengarang, seperti yang umumnya dilakukan dalam “sosiologi sastra”, tentu saja akan menimbulkan resistensi yang kuat dari kalangan sastra(wan), seperti yang terjadi dalam polemik Sastra Kontekstual tersebut. Apalagi kalau menganggap bahwa hanya faktor-faktor ekstrinsik demikian merupakan kunci dalam pemahaman/penafsiran, bahkan sebagai (keharusan) kredo penciptaan, karya sastra seperti yang dipropagandakan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto jelas merupakan sebuah reduksionisme konseptual yang sangat tidak adil atas sastra(wan). Juga merupakan sebuah pelecehan tekstual karena sastra telah digusur-paksa dari habitatnya, yaitu Seni, menjadi cuma sekedar sebuah dokumen sosial belaka – sama dengan berita kriminal di koran atau laporan perjalanan di majalah – seperti pada pemakaian tanda-kutip pada istilah “sastra” oleh Ariel Heryanto. Akan menarik sekali untuk mengetahui apa seorang sosiolog akan rela menerima hasil riset akademisnya tentang korupsi di Indonesia, misalnya, cuma dianggap tidak lebih bernilai ketimbang sebuah episode sinetron yang bertema sama. Kelemahan lain dari konsep “sastra kontekstual” ala Arief Budiman dan Ariel Heryanto adalah persoalan: siapa yang bisa menentukan bahwa “tokoh-tokoh” ataupun “realitas sosial” dalam sebuah karya “sastra kontekstual” memang benar-benar merupakan “representasi sebenarnya” dari kontekstualisme sastra dimaksud? Apa kriteria untuk menentukannya? Isu-isu penting semacam ini tak pernah sekalipun melintas dalam pemikiran kedua kontekstualis ini, apalagi sampai mereka membicarakannya. Pemahaman mekanistik atas hubungan antara sastra dan masyarakat seperti yang ditawarkan konsep “sastra kontekstual” merupakan sebuah “sosiologi sastra” yang sangat dogmatis-skematis, kalau tidak mau dikatakan cuma sebuah pseudo-sosiologi-sastra belaka. Ini dengan mudah bisa dilihat hanya dari tuduhan-tuduhan yang dilakukan Arief Budiman atas sastra(wan) Indonesia pada judul tulisan-tulisannya yang berkesan sangat sensasional itu. Ada baiknya saya ingatkan di sini bahwa Marx, Engels dan Trotsky (tiga tokoh utama sosiologi seni Marxis) pun tidak begitu dogmatis dalam “sosiologi sastra” mereka. Walaupun Marx dan Engels tidak pernah menciptakan sebuah teori tentang hubungan sastra dan masyarakat, tapi cukup banyak terdapat “catatan” yang menunjukkan betapa mereka tidak selalu menganggap status sastra hanya sebagai cermin dari proses sosial semata. Dalam tulisan mereka yang sangat terkenal, Manifesto Komunis, mereka menyatakan bahwa kapitalisme adalah representasi dari tahap produksi sosial yang paling maju, sebuah formasi sosial yang progresif. Dan kalau dikaitkan dengan sastra, maka hal ini mengisyaratkan mustahilnya keberadaan sebuah sastra nasional yang mandiri karena kapitalisme mengembangkan berbagai sastra nasional dan lokal menjadi sebuah “sastra dunia”, sastra yang melampaui kelas sosial, daerah, dan kebangsaan, dan yang berbicara kepada manusia di mana saja. Atau “sastra universal”, dalam istilah Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Engels sendiri, misalnya, menyatakan bahwa dalam sebuah karya sastra yang politis, tendensi politis pengarang sebaiknya implisit saja; ideologi politik bukanlah persoalan utama seniman dan karya itu sendiri pun diuntungkan kalau pandangan pengarangnya tetap tersembunyi. Menurut Engels lagi, tema sebuah novel mesti muncul dengan alami dari situasi dan peristiwa yang diceritakan di dalam novel tersebut. Karena, “tak ada keharusan bagi pengarang untuk menyediakan kepada pembacanya penyelesaian atas konflik sosial yang diceritakannya”. Sementara itu dalam pembelaannya atas kaum Formalis Rusia yang diejek-ejek Lunacharsky, Komisar Pendidikan dan Seni Uni Soviet pertama di zaman Lenin, sebagai sebuah “peninggalan budaya dari zaman pra-Rusia Revolusioner”, sebuah “eskapisme”, dan sebuah “ideologi dekaden”, Trotsky menyatakan persetujuannya dengan pandangan kaum Formalis tersebut bahwa penilaian utama atas teks sastra mestilah didasarkan pada kualitas sastranya, bahwa seni memiliki aturan-aturannya sendiri, dan sosiologi Marxis tidak bisa melampaui penilaian estetik. Sebuah “sosiologi sastra” yang “kontekstual” dengan dirinya sebagai sosiologi “sastra” tidak dapat mereduksi sastra menjadi sekedar cermin dari masyarakatnya semata, menjadi cuma sebuah dokumen sosial belaka, dengan mengesampingkan status sastra sebagai seni, seperti yang diyakini Ariel Heryanto. Begitu juga dengan pandangan absolutis-idiosinkratik Arief Budiman bahwa “pada dasarnya semua sastra adalah kontekstual”, yang bermakna bahwa sastra hanyalah sekedar refleksi dari romantika kelas sosial, terbatas publik penikmatnya tergantung hanya kepada siapa sang pengarang mengalamatkan karangannya, terlalu superfisial untuk bisa diterima sebagai sebuah “sosiologi” sastra karena menyiratkan bahwa selera seni, atau selera keindahan (sense of beauty), berbanding lurus dengan isi kocek dan warna kulit seseorang. Kecuali hitam-putih, tak ada warna lain dalam estetika Arief Budiman, tak ada nuansa kebenaran lain dalam positivisme “sosiologi”nya. Pertanyaan terakhir yang ingin saya ajukan kepada beliau, dan Ariel Heryanto, sambil menutup esei ini adalah bagaimana Anda akan menjelaskan betapa Shakespeare begitu universal kepopulerannya, sejak abad 17 sampai sekarang dan di mana-mana, termasuk di Indonesia, mirip dengan universalnya kepopuleran “sosiologi”, ilmu pengetahuan yang sangat kebarat-baratan itu?*** *Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta
Beberapa Catatan Atas Judul “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” Posted: 06/01/2014 in Esei Tags: boemipoetra, Horison, Katrin Bandel, polemik sastra, Sastra Indonesia, tokoh sastra 12 (https://boemipoetra.wordpress.com/2014/01/06/beberapa-catatan-atas-judul-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh/33tokoh-sastra_edited/) oleh Katrin Bandel* Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh“ sedang heboh dibicarakan. Buku tersebut sudah sangat banyak dikritik, terutama dengan fokus pada pilihan “tokoh sastra” yang dimasukkan ke buku tersebut, dan saya rasa memang pantas dan perlu dikritik. Tapi bagi saya masih ada hal lebih mendasar yang juga pantas disorot secara kritis. Yang saya maksudkan adalah konsep buku tersebut, seperti yang tercermin dari judulnya. Apa yang dimaksudkan dengan “tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh”, dan mengapa perlu dipilih dan dibukukan? Pertama, “pengaruh” adalah hal yang sangat abstrak dan tidak mudah diukur. Satu hal mendasar yang bisa dikatakan mengenainya adalah bahwa penilaian kita terhadap pengaruh sesuatu atau seseorang akan tergantung pada jangka waktu terjadinya pengaruh tersebut. Misalnya, bagaimana cara kita membandingkan pengaruh dua peristiwa terhadap kehidupan seseorang, apabila peristiwa pertama terjadi 10 tahun lalu, sedangkan yang kedua terjadi minggu lalu? Apakah peristiwa kedua sudah bisa diukur pengaruhnya? Dan apakah mungkin dibandingkan dengan peristiwa pertama? Dengan kata lain, bagaimana pengaruh STA bisa dibandingkan dengan pengaruh Denny JA atau Ayu Utami? Bukankah sangat mungkin bahwa 5 atau 10 tahun lagi tidak akan ada yang mengingat nama mereka? Dan bukankah sudah pasti ada sekian tokoh yang sempat sangat berpengaruh untuk masa tertentu, namun namanya kini kehilangan gaungnya? Kedua, secara sekilas “pengaruh” mungkin akan kita hubungkan dengan “mutu”. Namun pada dasarnya, kedua hal itu terpisah satu sama lain. Misalnya, novel-novel Balai Pustaka dari zaman kolonial jelas sekali punya pengaruh besar sampai saat ini karena diajarkan sebagai tonggak-tonggak awal sastra Indonesia yang pantas dibanggakan. Padahal kita tahu bahwa Balai Pustaka pada masa itu merupakan institusi kolonial yang didirikan antara lain untuk menandingi dan memarjinalkan karya-karya lain yang dipandang membahayakan kekuasaan kolonial (karya Melayu Lingua Franca). Kalau kini pengaruh tersebut dirayakan ulang, bukankah dengan demikian kanon kolonial justru dikonsolidasi sekali lagi? STA mungkin memang lebih berpengaruh daripada, misalnya, Kwee Tek Hoay, tapi apakah karyanya juga lebih bermutu? Belum tentu. Masalah serupa juga terjadi dalam kasus-kasus yang lebih kontemporer. Misalnya, karya Ayu Utami memang berpengaruh sebab namanya sangat heboh dibicarakan di media, dan dia memenangkan beberapa penghargaan bergengsi. Populernya topik seks dalam tulisan pengarang perempuan jelas sekali dipengaruhi oleh kehebohan seputar karya Ayu tersebut. Namun apakah itu menandakan mutu tinggi? Sama sekali belum tentu. Kasus paling ekstrim adalah Denny JA yang menciptakan pengaruhnya sendiri lewat marketing cerdas dan sayembara yang diadakan atas inisiatif sendiri, dan, yang paling penting, dengan pendanaan yang sangat luar biasa. Apakah ”pengaruh” semacam itu masih ada hubungannya dengan mutu karya? Ketiga, pantas dipertanyakan mengapa persoalan ”pengaruh” dibicarakan dengan fokus pada ”tokoh”. Bukankah di dunia sastra yang memiliki pengaruh itu terutama sekali adalah tulisan? Mengapa yang dibahas bukan ”33 karya yang paling berpengaruh”, atau ”33 media”, ”33 polemik sastra”, ”33 penerbit”, ”33 acara sastra”, dst? Apakah pengultusan individu tertentu sebagai ”berpengaruh” memang berguna bagi kita yang ingin mempelajari sejarah sastra Indonesia? Jangan-jangan pilihan judul tersebut mencerminkan konsep sejarah yang ketinggalan zaman, yaitu membayangkan sejarah digerakkan oleh ”orang-orang besar” tertentu, bukan oleh perkembangan wacana-wacana tertentu dan kondisi material yang mendasarinya. Keempat, kata ”berpengaruh” tanpa ada lanjutannya, dalam arti tanpa ada keterangan tentang apa atau siapa yang dipengaruhi, terkesan sangat umum dan tanpa fokus yang jelas. Apakah yang dimaksudkan adalah pengaruh pada penulis lain atau pada karya lain? Pengaruh pada dunia seni atau intelektual secara lebih luas? Pengaruh terhadap masyarakat secara umum? Tidak adanya spesifikasi apa pun dalam judul tersebut membuatnya semakin abstrak dan sulit diukur. Apa tujuan penerbitan buku dengan judul ”33 Tokoh Sastra Indonesia yang Paling Berpengaruh”? Saya menjadi curiga, jangan-jangan tidak ada niat serius untuk mempersoalkan permasalahan ”pengaruh” dalam buku tersebut. Studi yang serius mengenai pengaruh mesti berangkat dari usaha melacak intertekstualitas, dan tidak berkaitan secara langsung dengan penilaian mutu karya atau mutu pengarang. Seandainya itu tujuan buku tersebut, tentu perayaan 33 nama besar tidak akan dibutuhkan. Jadi apa makna kata ”berpengaruh” dalam judul tersebut? Jangan-jangan Tim 8 yang menjadi penyusun buku ini sendiri sebenarnya tak mengerti apa yang mereka maksud dengan “pengaruh” dalam judul sensasional buku mereka itu!*** *Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta
Dari Kisah “The Berkeley Mafia” Posted: 18/12/2013 in Esei Tags: David Ransom, Goenawan Mohamad, Indonesia, Mafia Berkeley, Orde Baru, Rampart, TEMPO 0
(https://boemipoetra.wordpress.com/2013/12/18/dari-kisah-the-berkeley-mafia/tokoh-mafia-berkeleyindonesia-digest-net_/) Kiri ke kanan: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Subroto, Emil Salim. Photo credit: http://www.indonesia-digest.net/3302suharto.htm (http://www.indonesiadigest.net/3302suharto.htm) Catatan boemipoetra: Di bawah ini adalah sebuah esei lama Goenawan Mohamad yang sudah bertahun-tahun lamanya dicari oleh Saut Situmorang, salah seorang anggota redaksi boemipoetra, tapi yang baru-baru ini saja berhasil didapatkannya via status Facebook seorang kawan bernama Tarli Nugroho. boemipoetra berterimakasih kepada bung Tarli atas pemuatan esei Goenawan Mohamad ini di status Facebooknya dan mengizinkannya untuk dibagikan ke publik. Esei di bawah ini penting kerna isinya dengan gamblang dan jelas menunjukkan betapa bahkan sejak tahun 1971 pun, yaitu tahun penerbitan esei di majalah TEMPO, Goenawan Mohamad adalah pendukung serius dari Mafia Berkeley dan kebijakan ekonomi Neoliberal mereka! Begitu seriusnya Goenawan Mohamad membela Mafia Berkeley, kebijakan ekonomi Neoliberalnya dan pihak asing di belakang keduanya (yang sekarang kita tahu adalah Amerika Serikat) hingga eseinya di bawah terkesan begitu propagandistik dan jadi pamflet murahan! Dengan “berisik”nya saat ini penghujatan atas Goenawan Mohamad sebagai tokoh Manifes Kebudayaan yang sangat terlibat atas kekerasan budaya di Indonesia pasca-1965 (dan pembelaan dirinya yang sok ngonteks-sejarah tapi sangat anti-historis itu), maka eseinya di bawah ini adalah sampah sejarah yang akan terus mengotori wajah “budayawan”nya yang pretensius itu! ========= oleh Goenawan Mohamad Seorang anakmuda Amerika jang pintar menulis sebuah artikel – dan mendjadi dikenal disini. Dialah David Ransom, pengarang The Mafia Berkeley and the Indonesian Massacre. Jang dimuat dimadjalah Rampart bulan Oktober 1970. Dengan semangat “Kiri Baru” jang menjala-njala, tulisan itu mentjoba “membongkar” besarnja tjampur-tangan kaum imperialis Amerika (dan sudah tentu CIA) dalam perkembangan Indonesia dibawah Presiden Soeharto – chususnya jang menjangkut hubungan kaum teknokrat dengan penguasa militer sekarang. Dinegeri ini sudah tentu tulisan itu menimbulkan rasa marah. Tapi ada djuga jang menganggapnja sebagai sesuatu jang tidak serius: gedjala penjakit kekiri-kirian, mode dikalangan intelektuil Barat kini. Meskipun demikian dilain pihak Ransom ternjata djuga dapat sambutan. Koran mingguan Srikandi djauh sebelum dijabut izin terbitnja pernah menterdjemahkan tulisan itu. Beberapa hari jang lalu harian Merdeka djuga kembali menjebut-njebutnya – ketika tadjukrentjana B.M. Diah melanjarkan serangan frontal kepada kaum teknokrat Pemerintah sehabis pengangkatan Menteri-menteri baru, chususnya kepada Widjojo Nitisastra. *** Harus diakui, bahwa tulisan Ransom tjukup persuasif. Dipersiapkan selama hampir setahun, kisah “The Berkeley Mafia” merupakan kumpulan sedjumlah data dan hasil wawantjara – meskipun tidak 100% akurat. Namun banjaknja data tidak dengan sendirinja mendjamin sebuah artikel jang setia kepada kebenaran. Staf redaksi Rampart dan djuga Ransom sendiri sebenarnja telah mengambil sikap – dan sikap itu adalah sikap mengganjang – djauh sebelum wawantjara dilakukan dan data dihimpun. Hasil interview dan bahan-bahan lainnja dengan djelas sengadja diatur kearah penelandjangan jang sudah direntjanakan. Musuhnja sudah tentu lembaga-lembaga Establishment di Amerika: Ford Foundation, Pentagon, CIA, kaum “reaksioner” dikalangan akademi dan bulan-bulanan lain jang digemari kaum Kiri Baru. Dan Indonesia sudah tentu masuk kedalam garis musuh itu: negeri ini menerima bantuan dari Rockefeller dan Ford Foundation untuk mendidik sardjana-sardjananja lewat universitas Berkeley, Cornell, Harvard, Kentucky dan MIT. Bagi Ransom, dari situlah mulainja rentjana besar imperialisme Amerika, jang djuga mengadakan kontak-kontak dengan kaum militer Indonesia – chususnya melalui marhum Djend. Suwarto dan SESKOAD, dimana para ahli ekonomi “made in USA” itu mengadjar. Kata Ransom: “Para ahli ekonomi itu dengan segera terlibat kedalam komplotan djendral-djendral anti komunis”. Apakah “komplotan” itu? Djend. Yani almarhum bersama perwira-perwira tinggi lainnja menjiapkan sebuah renjana kalau Presiden Sukarno meninggal mendadak. Djend. Suwarto, bersama SESKOAD dan para teknokrat, ikut menjiapkan rentjana itu. Jang ditjemaskan para djendral adalah PKI. Dan mengingat besarnja dukungan kepada Sukarno & PKI, orang militer dan penasihatnja tahu bahwa “banjak darah akan mengalir bila saat bentrokan tiba”. Saat bentrokan memang tiba: 30 September 1965, ketika Let. Kol. Untung mengadakan kup, jang menurut Ransom merupakan “peristiwa intern Angkatan Darat” dimana PKI tidak terlibat. Untung kalah. Maka rentjana militer bersama para sardjana jang disebut sebagai “the Berkeley Mafia” itupun bisa berdjalan, terutama setelah djatuhnja Sukarno dan naiknja Soeharto. Kabinet Pembangunan dibentuk, dan Sumitro, Widjojo, Emil Salim, Subroto, Ali Wardhana, Sadli, Barli Halim serta Soedjatmoko memegang djabatan-djabatan tinggi. Serentak dengan itu, sedjumlah ahli ekonomi Amerika melalui Development Advisory Service (DAS) dari Universitas Harvard diperbantukan kedalam perentjanaan ekonomi Indonesia. Maka lengkaplah pintu terbuka: Indonesia, kata Ransom kembali “kedalam pelukan imperialis”. Modal asing masuk, sesuai dengan strategi 20 tahun Ford Foundation. Sementara itu petani dan rakjat didesa terus ditindas oleh kaum militer. “Tidak ada lagi pembitjaraan tentang landreorm dan tentang mempersendjatai rakjat”, tulis Ransom, jang entah dari mana sumbernja kemudian bertjerita: “Tapi sikap diam itu tjukup berbitjara. Kini didesa-desa Djawa dimana PKI pernah kuat sebelum pembasmian besar-besaran terdjadi, tuantanah dan para perwira takut keluar malam. Mereka jang mentjoba, kadang-kadang dipagi hari kedapatan sudah terpotong lehernja. Dan para djendralpun berbisik tentang PKI malam”. *** FITNAHKAH tjerita tentang Mafia Berkeley itu? Orang bisa lebih tjotjok mengatakannja sebagai sematjam hasil tachajul. Berdasarkan tachajul tentang hebatnja strategi dan djaring-djaring imperialisme Amerika “a sophisticated imperial design beyond Cecil Rhode’s wildest dream”, Ransom telah menafsirkan perkembangan sedjarah Indonesia mutachir dengan semena-mena. Berdasarkan kemarahan Kiri Baru jang berlebih-lebihan Ransom praktis telah mendakwa para teknokrat dan seluruh golongan jang melahirkan keadaan sekarang sebagai sematjam pengchianat rayat, pion-pion murah CIA dan sedjenisnja. Dari sikap Ransom nampak bahwa mereka jang terlibat dalam proses sedjarah Indonesia dewasa ini jang setjara sloganistis disebut “para pendorong lahirnja Orde Baru”, seakan-akan tidak mempunjai dinamika sendiri. Malang sekali, anak muda jang berpretensi revolusioner ini ternjata masih mengidap dibawah sadarnja sikap kaum reaksioner jang paling reaksioner di Barat: memandang orang-orang Indonesia, negeri kulit berwarna dan terkebelakang ini, begitu matjam kerbau-kerbau jang mudah ditjotjok hidungnja oleh tuan-tuan pintar di Amerika. Demikianlah Ransom misalnja bertjerita bagaimana pimpinan KAMI menerima buku petundjuk organisasi mahasiswa dari kedutaan Amerika dibawah Marshall Green jang konon “punja reputasi sebagai dalang penggulingan Syngman Rhee oleh mahasiswa-mahasiswa Korea”. Ransom djuga mengutip utjapan seseorang jang tak disebut namanja tentang bagaimana Prof. Sadli “betul-betul tidak tahu menjusun undang-undang penanaman modal”. Iapun menjatakan bahwa keputusan Soeharto untuk mengangkat Team Ahli Ekonominja konon merupakan hasil gagasan seorang pedjabat Ford Foundation. Seolah-olah belum tjukup, setjara samar Ransom djuga mengungkapkan bahwa Repelita lahir berkat otak-ahli-ahli ekonomi Amerika. Dan kembali kemasa sebelum 1965, Ransom malah menjebut bagaimana Atase Militer Amerika waktu itu memperkenalkan permainan golf kepada djendraldjendral Indonesia. Sebagai seorang jang berlagak revolusioner Ransom memang tidak menjukai politik perekonomian Indonesia sekarang – sebagaimana djuga para pengagumnja disini. Tentu sadja itu bukan sesuatu jang tidak patut. Malah lebih menarik dan lebih bermanfaat kiranja apabila perdebatan dilakukan tentang politik perekonomian itu, setjara terbuka, taruhlah misalnja mengenai persoalan modal asing. Hanja ada satu hal jang perlu ditambahkan: dalam perdebatan sematjam itu wadjar djika orang mengharapkan sesuatu jang mungkin bisa disebut sebagai tanggungdjawab moral. Sebab jang mendjadi taruhan bukanlah kesimpulan-kesimpulan akademis dan kemenangan suatu faham. Jang mendjadi taruhan ialah nasib dan masadepan berpuluhpuluh rakjat Indonesia jang miskin. Sangat mudah bagi seseorang buat berlagak revolusioner dengan model rambut gondrong dan teriakan amarah, sementara dengan amannja ia tak terganggu oleh masa depan jang belum pasti dan masa kini jang serba kekurangan. Kaum Kiri Baru di Barat banjak jang berhati mulia, berperikemanusiaan jang luhur hanja mereka tak punja risiko jang menghantui sebagian besar rakjat Indonesia kini. Seperti Wertheim mereka bisa menjatakan tjinta pada Indonesia, rakjatnja dan kebudajaannja. Tapi djika seperti Wertheim mereka lebih menjukai Indonesia untuk memilih djalan dan faham mereka, adakah mereka djuga akan menanggung beban seperti jang ditanggung rakjat Indonesia? Saja kira disitulah masalah tanggungdjawab moral muntjul: sesuatu jang lajak ditanjakan djuga kepada orang jang menjatakan diri tjemas pada modal-asing, tapi sementara itu djuga hidup dari modal-asing, seorang jang menjatakan bentji kapitalisme tapi sementara itu hidup sebagai seorang kapitalis.*** Sumber: Majalah TEMPO No. 30/Th. I, 25 September 1971
(https://boemipoetra.wordpress.com/2013/12/18/dari-kisah-the-berkeley-mafia/tulisan-gm-tentang-mafia-berkeley/)
Ford Country: Building an Elite for Indonesia Posted: 17/12/2013 in Esei Tags: CIA, Ford Foundation, Indonesia, Mafia Berkeley, Orde Baru 0
by David Ransom
Author’s note: Much of the material appearing in this article was gathered in numerous personal interviews conducted between May 1968 and June 1970. The interviews were with a broad range of past and present members of the State Department and the Ford Foundation, faculty members at Harvard, Berkeley, Cornell, Syracuse, and the University of Kentucky, and Indonesians both supporting and opposing the Suharto government. Where possible, their names appear in the text. Other information in the article is derived from a wide reading of the available literature on the history and politics of Indonesia. Consequently, only those items are footnoted which directly quote or paraphrase a printed source. ____________
(https://boemipoetra.wordpress.com/2013/12/17/ford-country-building-an-elite-for-indonesia/fordlogosheet_a_2009for-print-only/) In the early sixties, Indonesia was a dirty word in the world of capitalist development. Expropriations, confiscations and rampant nationalism led economists and businessmen alike to fear that the fabled riches in the Indies — oil, rubber and tin — were all but lost to the fiery Sukarno and the twenty million followers of the Peking-oriented Indonesian Communist Party (PKI). Then, in October 1965, Indonesia’s generals stepped in, turned their counterattack against an unsuccessful colonels’ coup into an anti-communist pogrom, and opened the country’s vast natural resources to exploitation by American corporations. By 1967, Richard Nixon was describing Indonesia as “the greatest prize in the Southeast Asian area.”1 If Vietnam has been the major postwar defeat for an expanding American empire, this turnabout in nearby Indonesia is its greatest single victory. Needless to say, the Indonesian generals deserve a large share of credit for the American success. But standing at their side and overseeing the great give-away was an extraordinary team of Indonesian economists, all of them educated in the United States as part of a twenty year strategy by the world’s most powerful private aid agency, the billion-dollar Ford Foundation. But the strategy for Indonesia began long before the Ford Foundation turned its attention to the international scene. Following Japan’s defeat in World War II, revolutionary movements swept Asia, from India to Korea, from China to the Philippines. Many posed a threat to America’s well-planned Pax Pacifica. But Indonesian nationalists, despite tough resistance to the postwar invasion by Holland in its attempt to resume rule over the Indies, never carried their fight into a full-blown people’s war. Instead, leaders close to the West won their independence in Washington offices and New York living rooms. By 1949 the Americans had persuaded the Dutch to take action before the Indonesian revolution went too far, and then to learn to live with nationalism and like it. American diplomats helped draft an agreement that gave Indonesians their political independence, preserved the Dutch economic presence, and swung wide the Open Door to the new cultural and economic influence of the United States. Among those who handled the diplomatic maneuvers in the U.S. were two young Indonesian aristocrats — Soedjatmoko (many Indonesians have only one name) and Sumitro Djojohadikusumo, an economist with a Ph.D. from Holland. Both were members of the upper-class, nominally socialist PSI, one of the smaller and more Western-oriented of Indonesia’s myriad political parties. Distressed by the specter of Sukarno and the strong left wing of the Indonesian independence forces, the American Establishment found the bland nationalism offered by Soedjatmoko and Sumitro a most comfortable alternative. The Marshall Plan strategy for Europe depended on “the availability of the resources of Asia,” Soedjatmoko told a New York audience, and he offered them an Indonesia open to “fruitful cooperation with the West.”2 At the Ford Foundation-funded School of Advanced International Studies in Washington in early 1949, Sumitro explained that his kind of socialism included “free access” to Indonesian resources and “sufficient incentives” for foreign corporate investment.3 When independence came later that year, Sumitro returned to Djakarta to become minister of trade and industry (and later minister of finance and dean of the faculty of economics at the University of Djakarta). He defended an economic “stability” that favored Dutch investments and, carefully eschewing radicalism, went so far as to make an advisor of Hjalmar Schacht, economic architect of the Third Reich. Sumitro found his support in the PSI and their numerically stronger “modernist” ally, the Masjumi Party, a vehicle of Indonesia’s commercial and landowning santri Moslems. But he was clearly swimming against the tide. The Communist PKI, Sukarno’s Nationalist PNI, the Army, the orthodox Moslem NU — everybody, in fact, but the PSI and Masjumi — were riding the wave of postwar nationalism. In the 1955 national elections — Indonesia’s first and last — the PSI polled a minuscule fifth place. It did worse in the local balloting of 1957, in which the Communist PKI emerged the strongest party. Nevertheless, when Sukarno began nationalizing Dutch holdings in 1957, Sumitro joined Masjumi leaders and dissident Army commanders in the Outer Islands Rebellion, supported briefly by the CIA. It was spectacularly unsuccessful. From this failure in Sumatra and the Celebes, Sumitro fled to exile and a career as government and business consultant in Singapore. The PSI and the Masjumi were banned. America’s Indonesian allies had colluded with an imperialist power to overthrow a popularly elected nationalist government, headed by a man regarded as the George Washington of his country — and they had lost. So ruinously were they discredited that nothing short of a miracle could ever restore them to power. That miracle took a decade to perform, and it came outside the maneuvers of diplomacy, the play of party politics, even the invasion of American troops. Those methods, in Indonesia and elsewhere, had failed. The miracle came instead through the hallowed halls of academe, guided by the noble hand of philanthropy. Education had long been an arm of statecraft, and it was Dean Rusk who spelled out its function in the Pacific in 1952, just months before resigning as Assistant Secretary of State for Far Eastern Affairs to head up the Rockefeller Foundation. “Communist aggression” in Asia required not only that Americans be trained to combat it there, but “we must open our training facilities for increasing numbers of our friends from across the Pacific.”4 The Ford Foundation, under the presidency of Paul Hoffman (and working closely with the Rockefeller Foundation), moved quickly to apply Rusk’s words to Indonesia. As head of the Marshall Plan in Europe, Hoffman had helped to arrange Indonesian independence by cutting off aid funds to Dutch counterinsurgency and by threatening a total cutoff in aid to the Dutch. As the United States supplanted the Dutch, Hoffman and Ford would work through the best American universities — MIT, Cornell, Berkeley, and finally Harvard — to remold the old Indonesian hierarchs into modern administrators, trained to work under the new indirect rule of the Americans. In Ford’s own jargon, they would create a “modernizing elite.” “You can’t have a modernizing country without a modernizing elite,” explains the deputy vice-president of Ford’s international division, Frank Sutton. “That’s one of the reasons we’ve given a lot of attention to university education.” Sutton adds that there’s no better place to find such an elite than among “those who stand somewhere in social structures where prestige, leadership, and vested interests matter, as they always do.” Ford launched its effort to make Indonesia a “modernizing country” in 1954 with field projects from MIT and Cornell. The scholars produced by these two projects — one in economics, the other in political development — have effectively dominated the field of Indonesian studies in the United States ever since. Compared to what they eventually produced in Indonesia, however, this was a fairly modest achievement. Working through the Center for International Studies (the CIA-sponsored brainchild of Max Millikan and Walt W. Rostow), Ford sent out a team from MIT to discover “the causes of economic stagnation in Indonesia.” An interesting example of the effort was Guy Pauker’s study of “political obstacles” to economic development, obstacles such as armed insurgency. In the course of his field work, Pauker got to know the high-ranking officers of the Indonesian Army rather well. He found them “much more impressive” than the politicians. “I was the first who got interested in the role of the military in economic development,” Pauker says. He also got to know most of the key civilians: “With the exception of a very small group,” they were “almost totally oblivious” of what Pauker called modern development. Not surprisingly, the “very small group” was composed of PSI aristocrat-intellectuals, particularly Sumitro and his students. Sumitro, in fact, had participated in the MIT team’s briefings before they left Cambridge. Some of his students were also known by the MIT team, having attended a CIA-funded summer seminar run at Harvard each year by Henry Kissinger. One of the students was Mohammed Sadli, son of a well-to-do santri trader, with whom Pauker became good friends. In Djakarta, Pauker struck up friendships with the PSI clan and formed a political study group among whose members were the head of Indonesia’s National Planning Bureau, Ali Budiardjo, and his wife Miriam, Soedjatmoko’s sister. Rumanian by birth, Pauker had helped found a group called “Friends of the United States” in Bucharest just after the Second World War. He then came to Harvard, where he got his degree. While many Indonesians have charged the professor with having CIA connections, Pauker denies that he was intimate with the CIA until 1958, after he joined the RAND Corporation. Since then, it is no secret that he briefs and is briefed by the CIA, the Pentagon, and the State Department. Highly placed Washington sources say he is “directly involved in decision-making.” In 1954 — after the MIT team was in the field — Ford grubstaked a Modern Indonesia Project at Cornell. With an initial $224,000 and periodic replenishments, program chairman George Kahin built the social science wing of the Indonesian studies establishment in the United States. Even Indonesian universities must use Cornell’s elite-oriented studies to teach postIndependence politics and history. Among the several Indonesians brought to Cornell on Ford and Rockefeller grants, perhaps the most influential is sociologist-politician Selosoemardjan. Right-hand man to the Sultan of Jogjakarta, Selosoemardjan is one of the strong-men of the present Indonesian regime. Kahin’s political science group worked closely with Sumitro’s Faculty of Economics in Djakarta. “Most of the people at the university came from essentially bourgeois or bureaucratic families,” recalls Kahin. “They knew precious little of their society.” In a “victory” which speaks poignantly of the illusions of well-meaning liberals, Kahin succeeded in prodding them to “get their feet dirty” for three months in a village. Many would spend four years in the United States. Together with Widjojo Nitisastro, Sumitro’s leading protégé, Kahin set up an institute to publish the village studies. It has never amounted to much, except that its American advisors helped Ford maintain its contact in the most difficult of the Sukarno days. Kahin still thinks Cornell’s affair with Ford in Indonesia “was a fairly happy marriage” — less for the funding than for the political cover it afforded. “AID funds are relatively easy to get,” he explains. “But certainly in Indonesia, anybody working on political problems with [U.S.] government money during this period would have found their problem much more difficult.” One of the leading academic Vietnam doves, Kahin has irritated the State Department on occasion, and many of his students are far more radical than he. Yet for most Indonesians, Kahin’s work was really not much different from Pauker’s. One man went on to teach-ins, the other to RAND and the CIA. But the consequences of their nation-building efforts in Indonesia were much the same. MIT and Cornell made contacts, collected data, built up expertise. It was left to Berkeley to actually train most of the key Indonesians who would seize government power and put their proAmerican lessons into practice. Dean Sumitro’s Faculty of Economics provided a perfect academic boot camp for these economic shock troops. To oversee the project, Ford President Paul Hoffman tapped Michael Harris, a one-time CIO organizer who had headed Marshall Plan programs under Hoffman in France, Sweden, and Germany. Harris had been on a Marshall Plan survey in Indonesia in 1951, knew Sumitro, and before going out was extensively briefed by Sumitro’s New York promoter, Robert Delson, a Park Avenue attorney who had been Indonesia’s legal counsel in the United States since 1949. Harris reached Djakarta in 1955 and set out to build Dean Sumitro a broad new Ford-funded graduate program in economics. This time the professional touch and academic respectability were to be provided by Berkeley. The Berkeley team’s first task was to replace the Dutch professors, whose colonial influence and capitalist economics Sukarno was trying to phase out. The Berkeley team would also relieve Sumitro’s Indonesian junior faculty so that Ford could send them back to Berkeley for advanced credentials. Sadli was already there, sharing a duplex with Pauker, who had come to head the new Center for South and Southeast Asian Studies. Sumitro’s protégé Widjojo led the first crew out to Berkeley. While the Indonesian junior faculty studied American economics in Berkeley classrooms, the Berkeley professors turned the Faculty in Djakarta into an American-style school of economics, statistics, and business administration. Sukarno objected. At an annual lecture to the Faculty, team member Bruce Glassburner recalls, Sukarno complained that “all those men can say to me is ‘Schumpeter and Keynes.’ When I was young I read Marx.” Sukarno might grumble and complain, but if he wanted any education at all he would have to take what he got. “When Sukarno threatened to put an end to Western economics,” says John Howard, long-time director of Ford’s International Training and Research Program, “Ford threatened to cut off all programs, and that changed Sukarno’s direction.” The Berkeley staff also joined in the effort to keep Sukarno’s socialism and Indonesian national policy at bay. “We got a lot of pressure through 1958-1959 for ‘retooling’ the curriculum,” Glassburner recalls. “We did some dummying-up, you know — we put ‘socialism’ into as many course titles as we could — but really tried to preserve the academic integrity of the place.” The project, which cost Ford $2.5 million, had a clear, and some times stated, purpose. “Ford felt it was training the guys who would be leading the country when Sukarno got out,” explains John Howard. There was little chance, of course, that Sumitro’s minuscule PSI would outdistance Sukarno at the polls. But “Sumitro felt the PSI group could have influence far out of proportion to their voting strength by putting men in key positions in government,” recalls the first project chairman, a feisty Irish business professor named Len Doyle. When Sumitro went into exile, his Faculty carried on. His students visited him surreptitiously on their way to and from the United States. Powerful Americans like Harry Goldberg, a lieutenant of labor boss Jay Lovestone (head of the CIO’s international program), kept in close contact and saw that Sumitro’s messages got through to his Indonesian friends. No dean was appointed to replace him; he was the “chairman in absentia.” All of the unacademic intrigue caused hardly a ripple of disquiet among the scrupulous professors. A notable exception was Doyle. “I feel that much of the trouble that I had probably stemmed from the fact that I was not as convinced of Sumitro’s position as the Ford Foundation representative was, and, in retrospect, probably the CIA,” recalls Doyle. Harris tried to get Doyle to hire “two or three Americans who were close to Sumitro.” One was an old friend of Sumitro’s from the MIT team, William Hollinger. Doyle refused. “It was clear that Sumitro was going to continue to run the Faculty from Singapore,” he says. But it was a game he wouldn’t play. “I felt that the University should not be involved in what essentially was becoming a rebellion against the government,” Doyle explains, “whatever sympathy you might have with the rebel cause and the rebel objectives.” Back home, Doyle’s lonely defense of academic integrity against the political pressures exerted through Ford was not appreciated. Though he had been sent there for two years, Berkeley recalled him after one. “He tried to run things,” University officials say politely. “We had no choice but to ship him home.” In fact, Harris had him bounced. “In my judgment,” Harris recalls, “there was a real problem between Doyle and the Faculty.” One of the younger men who stayed on after Doyle was Ralph Anspach, a Berkeley team member now teaching college in San Francisco. Anspach got so fed up with what he saw in Djakarta that he will no longer work in applied economics. “I had the feeling that in the last analysis I was supposed to be a part of this American policy of empire,” he says, “bringing in American science, and attitudes, and culture … winning over countries — doing this with an awful lot of cocktails and high pay. I just got out of the whole thing.” Doyle and Anspach were the exceptions. Most of the academic professionals found the project — as Ford meant it to be — the beginning of a career.”This was a tremendous break for me,” explains Bruce Glassburner, project chairman from 1958 to 1961. “Those three years over there gave me an opportunity to become a certain kind of economist. I had a category — I became a development economist — and I got to know Indonesia. This made a tremendous difference in my career.” Berkeley phased its people out of Djakarta in 1961-62. The constant battle between the Ford representative and the Berkeley chairman as to who would run the project had some part in hastening its end. But more important, the professors were no longer necessary, and were probably an increasing political liability. Sumitro’s first string had returned with their degrees and resumed control of the school. The Berkeley team had done its job. “Kept the thing alive,” Glassburner recalls proudly. “We plugged a hole … and with the Ford Foundation’s money we trained them forty or so economists.” What did the University get out of it? “Well, some overhead money, you know.” And the satisfaction of a job well done. In 1959 Pauker set out the lessons of the PSI’s electoral isolation and Sumitro’s abortive Outer Islands Rebellion in a widely read paper entitled “Southeast Asia as a Trouble Area in the Next Decade.” Parties like the PSI were “unfit for vigorous competition” with communism, he wrote. “Communism is bound to win in Southeast Asia … unless effective countervailing power is found.” The “best equipped” countervailing forces, he wrote, were “members of the national officer corps as individuals and the national armies as organizational structures.5 From his exile in Singapore, Sumitro concurred, arguing that his PSI and the Masjumi party, which the Army had attacked, were really the Army’s “natural allies.” Without them, the Army would find itself politically isolated, he said. But to consummate their alliance “the Sukarno regime must be toppled first.” Until then, Sumitro warned, the generals should keep “a close and continuous watch” on the growing and powerful Communist peasant organizations. Meanwhile, Sumitro’s Ford-scholar protégés in Djakarta began the necessary steps toward a rapprochement. Fortunately for Ford and its academic image there was yet another school at hand: SESKOAD, the Army Staff and Command School. Situated seventy miles southeast of Djakarta in cosmopolitan Bandung, SESKOAD was the Army’s nerve center. There, generals decided organizational and political matters; there, senior officers on regular rotation were “upgraded” with manuals and methods picked up during training in Fort Leavenworth, Kansas. When the Berkeley team phased itself out in 1962, Sadli, Widjojo and others from the Faculty began regular trips to Bandung to teach at SESKOAD. They taught “economic aspects of defense,” says Ford’s Frank Miller, who replaced Harris in Djakarta. Pauker tells a different story. Since the mid-’50s, he had come to know the Army General staff rather well, he explains, first on the MIT team, then on trips for RAND. One good friend was Colonel Suwarto (not to be confused with General Suharto), the deputy commander of SESKOAD and a 1959 Fort Leavenworth graduate. In 1962, Pauker brought Suwarto to RAND. Besides learning “all sorts of things about international affairs” while at RAND, Pauker says, Suwarto also saw how RAND “organizes the academic resources of the country as consultants.” According to Pauker, Suwarto had “a new idea” when he returned to Bandung. “The four or five top economists became ‘cleared’ social scientists lecturing and studying the future political problems of Indonesia in SESKOAD.” In effect, this group became the Army’s high-level civilian advisors. They were joined at SESKOAD by other PSI and Masjumi alumni of the university programs — Miriam Budiardjo from Pauker’s MIT study group, and Selosoemardjan from Kahin’s program at Cornell, as well as senior faculty from the nearby Bundung Institute of Technology, where the University of Kentucky had been “institution-building” for AID since 1957. The economists were quickly caught up in the anti-communist conspiracy directed at toppling the Sukarno regime and encouraged by Sumitro from his Singapore exile. Lieutenant General Achmad Yani, Army commander-in-chief, had drawn around him a “brain trust” of generals. It was an “open secret,” says Pauker, that Yani and his brain trust were discussing “contingency plans” which were to “prevent chaos should Sukarno die suddenly.” The contribution of Suwarto’s mini-RAND, according to Colonel Willis G. Ethel, U.S. defense attaché in Djakarta and a close confidant of Commander-in-Chief Yani and others of the Army high command, was that the professors “would run a course in this contingency planning.” Of course, the Army planners were worried about “preventing chaos.” They were worried about the PKI. “They weren’t about to let the Communists take over the country,” Ethel says. They also knew that there was immense popular support for Sukarno and the PKI and that a great deal of blood would flow when the showdown came. Other institutions joined the Ford economists in preparing the military. High-ranking Indonesian officers had begun U.S. training programs in the mid-’50s. By 1965 some four thousand officers had learned big-scale army command at Fort Leavenworth and counterinsurgency at Fort Bragg. Beginning in 1962, hundreds of visiting officers at Harvard and Syracuse gained the skills for maintaining a huge economic, as well as military, establishment, with training in everything from business administration and personnel management to air photography and shipping.6 AID’s “Public Safety Program” in the Philippines and Malaya trained and equipped the Mobile Brigades of the Indonesian military’s fourth arm, the police. While the Army developed expertise and perspective — courtesy of the generous American aid program — it also increased its political and economic influence. Under the martial law declared by Sukarno at the time of the Outer Islands Rebellion, the Army had become the predominant power in Indonesia. Regional commanders took over provincial governments — depriving the Communist PKI of its plurality victories in the 1957 local elections. Fearful of a PKI sweep in the planned 1959 national elections, the generals prevailed on Sukarno to cancel elections for six years. Then they moved quickly into the upper reaches of Sukarno’s new “guided democracy,” increasing the number of ministries under their control right up to the time of the coup. Puzzled by the Army’s reluctance to take complete power, journalists called it a “creeping coup d’état.”7 The Army also moved into the economy, first taking “supervisory control,” then key directorships of the Dutch properties that the PKI unionists had seized “for the people” during the confrontation over West Irian in late 1957. As a result, the generals controlled plantations, small industry, state-owned oil and tin, and the state-run export-import companies, which by 1965 monopolized government purchasing and had branched out into sugar milling, shipping, and distribution. Those high-ranking officers not born into the Indonesian aristocracy quickly married in, and in the countryside they cemented alliances — often through family ties — with the santri Moslem landowners who were the backbone of the Masjumi Party. “The Army and the civil police,” wrote Robert Shaplen of the New York Times, “virtually controlled the whole state apparatus.” American University’s Willard Hanna called it “a new form of government — military-private enterprise.”8 Consequently, “economic aspects of defense” became a wide-ranging subject at SESKOAD. But Ford’s Indonesian economists made it broader yet by undertaking to prepare economic policy for the post-Sukarno period there, too. During this period, the Communists were betwixt and between. Deprived of their victory at the polls and unwilling to break with Sukarno, they tried to make the best of his “guided democracy,” participating with the Army in coalition cabinets. Pauker has described the PKI strategy as “attempting to keep the parliamentary road open,” while seeking to come to power by “acclamation.” That meant building up PKI prestige as “the only solid, purposeful, disciplined, well-organized, capable political force in the country,” to which Indonesians would turn “when all other possible solutions have failed.”9 At least in numbers, the PKI policy was a success. The major labor federation was Communist, as was the largest farmers’ organization and the leading women’s and youth groups. By 1963, three million Indonesians, most of them in heavily populated Java, were members of the PKI, and an estimated seventeen million were members of its associated organizations — making it the world’s largest Communist Party outside Russia and China. At Independence the party had numbered only eight thousand. In December 1963, PKI Chairman D.N. Aidit gave official sanction to “unilateral action” which had been undertaken by the peasants to put into effect a land-reform and crop-sharing law already on the books. Though landlords’ holdings were not large, less than half the Indonesian farmers owned the land they worked, and of these most had less than an acre. As the peasants’ “unilateral action” gathered momentum, Sukarno, seeing his coalition endangered, tried to check its force by establishing “land-reform courts” which included peasant representatives. But in the countryside, police continued to clash with peasants and made mass arrests. In some areas, santri youth groups began murderous attacks on peasants. Since the Army held state power in most areas, the peasants’ “unilateral action” was directed against its authority. Pauker calls it “class struggle in the countryside” and suggests that the PKI had put itself “on a collision course with the Army.”10 But unlike Mao’s Communists in pre-revolutionary China, the PKI had no Red Army. Having chosen the parliamentary road, the PKI was stuck with it. In early 1965, PKI leaders demanded that the Sukarno government (in which they were cabinet ministers) create a people’s militia — five million armed workers, ten million armed peasants. But Sukarno’s power was hollow. The Army had become a state within a state. It was they — and not Sukarno or the PKI — who held the guns.11 The proof came in September 1965. On the night of the 30th, troops under the command of dissident lower-level Army officers, in alliance with officers of the small Indonesian Air Force, assassinated General Yani and five members of his SESKOAD “brain trust.” Led by Lieutenant Colonel Untung, the rebels seized the Djakarta radio station and next morning broadcast a statement that their September 30th Movement was directed against the “Council of Generals,” which they announced was CIA-sponsored and had itself planned a coup d’état for Armed Forces Day, four days later. Untung’s preventive coup quickly collapsed. Sukarno, hoping to restore the pre-coup balance of forces, gave it no support. The PKI prepared no street demonstrations, no strikes, no coordinated uprisings in the countryside. The dissidents themselves missed assassinating General Nasution and apparently left General Suharto off their list. Suharto rallied the elite paracommandos and units of West Java’s Siliwangi division against Untung’s colonels. Untung’s troops, unsure of themselves, their mission, and their loyalties, made no stand. It was all over in a day. The Army high command quickly blamed the Communists for the coup, a line the Western press has followed ever since. Yet the utter lack of activity in the streets and the countryside makes PKI involvement unlikely, and many Indonesia specialists believe, with Dutch scholar W.F. Wertheim, that “the Untung coup was what its leader … claimed it to be — an internal army affair reflecting serious tensions between officers of the Central Java Diponegoro Division, and the Supreme Command of the Army in Djakarta….”12 Leftists, on the other hand, later assumed that the CIA had had a heavy hand in the affair. Embassy officials had long wined and dined the student apparatchiks who rose to lead the demonstrations that brought Sukarno down. The CIA was close with the Army, especially with Intelligence Chief Achmed Sukendro, who retained his agents after 1958 with U.S. help and then studied at the University of Pittsburgh in the early sixties. But Sukendro and most other members of the Indonesian high command were equally close to the embassy’s military attachés, who seem to have made Washington’s chief contacts with the Army both before and after the attempted coup. All in all, considering the make-up and history of the generals and their “modernist” allies and advisors, it is clear that at this point neither the CIA nor the Pentagon needed to play any more than a subordinate role. The Indonesian professors may have helped lay out the Army’s “contingency” plans, but no one was going to ask them to take to the streets and make the “revolution.” That they could leave to their students. Lacking a mass organization, the Army depended on the students to give authenticity and “popular” leadership in the events that followed. It was the students who demanded — and finally got — Sukarno’s head; and it was the students — as propagandists — who carried the cry of jihad (religious war) to the villages. In late October, Brigadier General Sjarif Thajeb — the Harvard-trained minister of higher education (and now ambassador to the United States) — brought student leaders together in his living room to create the Indonesian Student Action Command (KAMI).13 Many of the KAMI leaders were the older student apparatchiks who had been courted by the U.S. embassy. Some had traveled to the United States as American Field Service exchange students, or on year-long jaunts in a “Foreign Student Leadership Project” sponsored by the U.S National Student Association in its CIA-fed salad years. Only months before the coup, U.S. Ambassador Marshall Green had arrived in Djakarta, bringing with him the reputation of having masterminded the student overthrow of Syngman Rhee in Korea and sparking rumors that his purpose in Djakarta was to do the same there. Old manuals on student organizing in both Korean and English were supplied by the embassy to KAMI’s top leadership soon after the coup. But KAMI’s most militant leadership came from Bandung, where the University of Kentucky had mounted a ten-year “institution-building” program at the Bandung Institute of Technology, sending nearly five hundred of their students to the United States for training. Students in all of Indonesia’s elite universities had been given paramilitary training by the Army in a program for a time advised by an ROTC colonel on leave from Berkeley. Their training was “in anticipation of a Communist attempt to seize the government,” writes Harsja Bachtiar, an Indonesian sociologist and an alumnus of Cornell and Harvard.14 In Bandung, headquarters of the aristocratic Siliwangi division, student paramilitary training was beefed up in the months preceding the coup, and santri student leaders were boasting to their American friends that they were developing organizational contacts with extremist Moslem youth groups in the villages. It was these groups that spearheaded the massacres of PKI followers and peasants. At the funeral of General Nasution’s daughter, mistakenly slain in the Untung coup, Navy chief Eddy Martadinata told santri student leaders to “sweep.” The message was “that they could go out and clean up the Communists without any hindrance from the military, wrote Christian Science Monitor Asian correspondent John Hughes. With relish they called out their followers, stuck their knives and pistols in their waistbands, swung their clubs over their shoulders, and embarked on the assignment for which they had long been hoping.”15 Their first move was to burn PKI headquarters. Then, thousands of PKI and Sukarno supporters were arrested and imprisoned in Djakarta; cabinet members and parliamentarians were permanently “suspended”; and a purge of the ministries was begun. The following month, on October 17, 1965, Colonel Sarwo Edhy took his elite paratroops (the “Red Berets”) into the PKI’s Central Java stronghold in the Bojolali-Klaten-Solo triangle. His assignment, according to Hughes, was “the extermination, by whatever means might be necessary, of the core of the Communist Party there.” He found he had too few troops. “We decided to encourage the anti-communist civilians to help with the job,” the Colonel told Hughes. “In Solo we gathered together the youth, the nationalist groups, the religious Moslem organizations. We gave them two or three days’ training, then sent them out to kill Communists.”16 The Bandung engineering students, who had learned from the Kentucky AID team how to build and operate radio transmitters, were tapped by Colonel Edhy’s elite corps to set up a multitude of small broadcasting units throughout strongly PKI East and Central Java, some of which exhorted local fanatics to rise up against the Communists in jihad. The U.S. embassy provided necessary spare parts for these radios. Time magazine describes what followed: Communists, Red sympathizers and their families are being massacred by the thousands. Backlands army units are reported to have executed thousands of Communists after interrogation in remote jails…. Armed with wide-blade knives called parangs, Moslem bands crept at night into the homes of Communists, killing entire families and burying the bodies in shallow graves…. The murder campaign became so brazen in parts of rural East Java that Moslem bands placed the heads of victims on poles and paraded them through villages. The killings have been on such a scale that the disposal of the corpses has created a serious sanitation problem in East Java and Northern Sumatra, where the humid air bears the reek of decaying flesh. Travelers from these areas tell of small rivers and streams that have been literally clogged with bodies; river transportation has at places been seriously impeded.17 Graduate students from Bandung and Djakarta, dragooned by the Army, researched the number dead. Their report, never made public, but leaked to correspondent Frank Palmos, estimated one million victims. In the PKI “triangle stronghold” of Bojolali, Klaten, and Solo, Palmos said they reported, “nearly one-third of the population is dead or missing.”18 Most observers think their estimate high, putting the death toll at three to five hundred thousand. The KAMI students also played a part — bringing life in Djakarta to a standstill with anti-communist, anti-Sukarno demonstrations whenever necessary. By January, Colonel Edhy was back in Djakarta addressing KAMI rallies, his elite corps providing KAMI with trucks, loudspeakers, and protection. KAMI demonstrators could tie up the city at will. “The ideas that Communism was public enemy number one, that Communist China was no longer a close friend but a menace to the security of the state, and that there was corruption and inefficiency in the upper levels of the national government were introduced on the streets of Djakarta,” writes Bachtiar.19 The old PSI and Masjumi leaders nurtured by Ford and its professors were home at last. They gave the students advice and money, while the PSI-oriented professors maintained “close advisory relationships” with the students, later forming their own Indonesian Scholars Action Command (KASI). One of the economists, Emil Salim, who had recently returned with a Ph.D. from Berkeley, was counted among the KAMI leadership. Salim’s father had purged the Communist wing of the major prewar nationalist organization, and then served in the preIndependence Masjumi cabinets. In January the economists made headlines in Djakarta with a week-long economic and financial seminar at the Faculty. It was “principally … a demonstration of solidarity among the members of KAMI, the anti-Communist intellectuals, and the leadership of the Army,” Bachtiar says. The seminar heard papers from General Nasution, Adam Malik, and others who “presented themselves as a counter-elite challenging the competence and legitimacy of the elite led by President Sukarno.”20 It was Djakarta’s post-coup introduction to Ford’s economic policies. In March Suharto stripped Sukarno of formal power and had himself named acting president, tapping old political warhorse Adam Malik and the Sultan of Jogjakarta to join him in a ruling triumvirate. The generals whom the economists had known best at SESKOAD — Yani and his brain trust — had all been killed. But with the help of Kahin’s protégé, Selosoemardjan, they first caught the Sultan’s and then Suharto’s ear, persuading them that the Americans would demand a strong attack on inflation and a swift return to a “market economy.” On April 12, the Sultan issued a major policy statement outlining the economic program of the new regime — in effect announcing Indonesia’s return to the imperialist fold. It was written by Widjojo and Sadli. In working out the subsequent details of the Sultan’s program, the economists got aid from the expected source — the United States. When Widjojo got stuck in drawing up a stabilization plan, AID brought in Harvard economist Dave Cole, fresh from writing South Korea’s banking regulations, to provide him with a draft. Sadli, too, required some post-doctoral tutoring. According to an American official, Sadli “really didn’t know how to write an investment law. He had to have a lot of help from the embassy.” It was a team effort. “We were all working together at the time — the ‘economists,’ the American economists, AID,” recalls Calvin Cowles, the first AID man on the scene. By early September the economists had their plans drafted and the generals convinced of their usefulness. After a series of crash seminars at SESKOAD, Suharto named the Faculty’s five top men his Team of Experts for Economic and Financial Affairs, an idea for which Ford man Frank Miller claims credit. In August the Stanford Research Institute — a spinoff of the university-military-industrial complex — brought 170 “senior executives” to Djakarta for a three-day parley and look-see. “The Indonesians have cut out the cancer that was destroying their economy,” an SRI executive later reported approvingly. Then, urging that big business invest heavily in Suharto’s future, he warned that “military solutions are infinitely more costly.”21 In November, Malik, Sadli, Salim, Selosoemardjan, and the Sultan met in Geneva with a select list of American and European businessmen flown in by Time-Life. Surrounded by his economic advisors, the Sultan ticked off the selling points of the New Indonesia — “political stability … abundance of cheap labor … vast potential market … treasurehouse of resources.” The universities, he added, have produced a “large number of trained individuals who will be happy to serve in new economic enterprises.” David Rockefeller, chairman of the Chase Manhattan Bank, thanked Time-Life for the chance to get acquainted with “Indonesia’s top economic team.” He was impressed, he said, by their “high quality of education.” “To some extent, we are witnessing the return of the pragmatic outlook which was characteristic of the PSI-Masjumi coalition of the early fifties when Sumitro … dominated the scene,”22 observed a well-placed insider in 1966. Sumitro slipped quietly into Djakarta, opened a business consultancy, and prepared himself for high office. In June 1968 Suharto organized an impromptu reunion for the class of Ford — a “development cabinet.” As minister of trade and commerce he appointed Dean Sumitro (Ph.D., Rotterdam); as chairman of the National Planning Board he appointed Widjojo (Ph.D., Berkeley, 1961); as vice-chairman, Emil Salim (Ph.D., Berkeley, 1964); as secretary general of Marketing and Trade Research, Subroto (Harvard, 1964); as minister of finance, Ali Wardhana (Ph.D., Berkeley, 1962); as chairman of the Technical Team of Foreign Investment, Mohamed Sadli (M.S., MIT, 1956); as secretary general of Industry, Barli Halim (M.B.A., Berkeley, 1959). Soedjatmoko, who had been functioning as Malik’s advisor, became ambassador in Washington. “We consider that we were training ourselves for this,” Sadli told a reporter from Fortune — “a historic opportunity to fix the course of events.”23 Since 1954, Harvard’s Development Advisory Service (DAS), the Ford-funded elite corps of international modernizers, has brought Ford influence to the national planning agencies of Pakistan, Greece, Argentina, Liberia, Colombia, Malaysia, and Ghana. In 1963, when the Indonesian economists were apprehensive that Sukarno might try to remove them from their Faculty, Ford asked Harvard to step into the breach. Ford funds would breathe new life into an old research institute, in which Harvard’s presence would provide a protective academic aura for Sumitro’s scholars. The DAS was skeptical at first, says director Gus Papanek. But the prospect of future rewards was great. Harvard would get acquainted with the economists, and in the event of Sukarno’s fall, the DAS would have established “an excellent base” from which to plan Indonesia’s future. “We could not have drawn up a more ideal scenario than what happened,” Papanek says. “All of those people simply moved into the government and took over the management of economic affairs, and then they asked us to continue working with them.” Officially the Harvard DAS-Indonesia project resumed on July 1, 1968, but Papanek had people in the field well before that joining with AID’s Cal Cowles in bringing back the old Indonesia hands of the fifties and sixties. After helping draft the stabilization program for AID, Dave Cole returned to work with Widjojo on the Ford/Harvard payroll. Leon Mears, an agricultural economist who had learned Indonesian rice-marketing in the Berkeley project, came for AID and stayed on for Harvard. Sumitro’s old friend from MIT, Bill Hollinger, transferred from the DAS-Liberia project and now shares Sumitro’s office in the Ministry of Trade. The Harvard people are “advisors,” explains DAS Deputy Director Lester Gordon — “foreign advisors who don’t have to deal with all the paperwork and have time to come up with new ideas.” They work “as employees of the government would,” he says, “but in such a way that it doesn’t get out that the foreigners are doing it.” Indiscretions had got them bounced from Pakistan. In Indonesia; “we stay in the background.” Harvard stayed in the background while developing the five-year plan. In the winter of 1967-68, a good harvest and a critical infusion of U.S. Food for Peace rice had kept prices down, cooling the political situation for a time. Hollinger, the DAS’s first full-time man on the scene, arrived in March and helped the economists lay out the plan’s strategy. As the other DAS technocrats arrived, they went to work on its planks. “Did we cause it, did the Ford Foundation cause it, did the Indonesians cause it?” asks AID’s Cal Cowles rhetorically. “I don’t know.” The plan went into force without fanfare in January 1969, its key elements foreign investment and agricultural self-sufficiency. It is a late-twentieth-century American “development” plan that sounds suspiciously like the mid-nineteenth-century Dutch colonial strategy. Then, Indonesian labor — often corvée — substituted for Dutch capital in building the roads and digging the irrigation ditches necessary to create a plantation economy for Dutch capitalists, while a “modern” agricultural technology increased the output of Javanese paddies to keep pace with the expanding population. The plan brought an industrial renaissance to the Netherlands, but only an expanding misery to Indonesia. As in the Dutch strategy, the Ford scholars’ five-year plan introduces a “modern” agricultural technology — the so-called “green revolution” of high-yield hybrid rice — to keep pace with Indonesian rural population growth and to avoid “explosive” changes in Indonesian class relationships. Probably it will do neither — though AID is currently supporting a project at Berkeley’s Center for South and Southeast Asian Studies to give it the old college try. Negotiated with Harsja Bachtiar, the Harvard-trained sociologist now heading the Faculty’s Ford-funded research institute, the project is to train Indonesian sociologists to “modernize” relations between the peasantry and the Army’s state power. The agricultural plan is being implemented by the central government’s agricultural extension service, whose top men were trained by an AID-funded University of Kentucky program at the Bogor Agricultural Institute. In effect, the agricultural agents have been given a monopoly in the sale of seed and the buying of rice, which puts them in a natural alliance with the local military commanders — who often control the rice transport business — and with the local santri landlords, whose higher returns are being used to quickly expand their holdings. The peasants find themselves on the short end of the stick. If they raise a ruckus they are “sabotaging a national program,” must be PKI agents, and the soldiers are called in. The Indonesian ruling class, observes Wertheim, is now “openly waging [its] own brand of class struggle.”24 It is a struggle the Harvard technocrats must “modernize.” Economically the issue is Indonesia’s widespread unemployment; politically it is Suharto’s need to legitimize his power through elections. “The government … will have to do better than just avoiding chaos if Suharto is going to be popularly elected,” DAS Director Papanek reported in October 1968. “A really widespread public works program, financed by increased imports of PL 480 commodities sold at lower prices, could provide quick economic and political benefits in the countryside.”25
Harvard’s Indonesian New Deal is a “rural development” program that will further strengthen the hand of the local Army commanders. Supplying funds meant for labor-intensive public works, the program is supposed to increase local autonomy by working through local authorities. The money will merely line military pockets or provide bribes by which they will secure their civilian retainees. DAS Director Papanek admits that the program is “civilian only in a very broad sense, because many of the local administrators are military people.” And the military has two very large, and rather cheap, labor forces which are already at work in “rural development.” One is the three-hundred-thousand-man Army itself. The other is composed of the one hundred twenty thousand political prisoners still being held after the Army’s 1965-66 anti-communist sweeps. Some observers estimate there are twice as many prisoners, most of whom the Army admits were not PKI members, though they fear they may have become Communists in the concentration camps. Despite the abundance of Food for Peace rice for other purposes, there is none for the prisoners, whom the government’s daily food expenditure is slightly more than a penny. At least two journalists have reported Sumatran prisoners quartered in the middle of the Goodyear rubber plantation where they had worked before the massacres as members of a PKI union. Now, the correspondents say, they are let out daily to work its trees for substandard wages, which are paid to their guards.26 In Java the Army uses the prisoners in public works. Australian professor Herbert Feith was shown around one Javanese town in 1968 where prisoners had built the prosecutor’s house, the high school, the mosque, and (in process) the Catholic church. “It is not really hard to get work out of them if you push them,” he was told.27 Just as they are afraid and unwilling to free the prisoners, so the generals are afraid to demobilize the troops. “You can’t add to the unemployment,” explained an Indonesia desk man at the State Department, “especially with people who know how to shoot a gun.” Consequently the troops are being worked more and more into the infrastructure labor force — to which the Pentagon is providing roadbuilding equipment and advisors. But it is the foreign-investment plan that is the payoff of Ford’s twenty-year strategy in Indonesia and the pot of gold that the Ford modernizers — both American and Indonesian — are paid to protect. The nineteenth-century Colonial Dutch strategy built an agricultural export economy. The Americans are interested primarily in resources, mainly mineral. Freeport Sulphur will mine copper on West Irian. International Nickel has got the Celebes’ nickel. Alcoa is negotiating for most of Indonesia’s bauxite. Weyerhaeuser, International Paper, Boise Cascade, and Japanese, Korean, and Filipino lumber companies will cut down the huge tropical forests of Sumatra, West Irian, and Kalimantan (Borneo). A U.S.-European consortium of mining giants, headed by U.S. Steel, will mine West Irian’s nickel. Two others, U.S.-British and U.S.-Australian, will mine tin. A fourth, U.S.-New Zealander, is contemplating Indonesian coaling. The Japanese will take home the archipelago’s shrimp and tuna and dive for her pearls. Another unmined resource is Indonesia’s one hundred twenty million inhabitants — half the people in Southeast Asia. “Indonesia today,” boasts a California electronics manufacturer now operating his assembly lines in Djakarta, “has the world’s largest untapped pool of capable assembly labor at a modest cost.” The cost is ten cents an hour. But the real prize is oil. During one week in 1969, twenty three companies, nineteen of them American, bid for the right to explore and bring to market the oil beneath the Java Sea and Indonesia’s other coastal waters. In one 21,000-square-mile concession off Java’s northeast coast, Natomas and Atlantic-Richfield are already bringing in oil. Other companies with contracts signed have watched their stocks soar in speculative orgies rivaling those following the Alaskan North Slope discoveries. As a result, Ford is sponsoring a new Berkeley project at the University of California law school in “developing human resources for the handling of negotiations with foreign investors in Indonesia.” Looking back, the thirty-year-old vision for the Pacific seems secure in Indonesia — thanks to the flexibility and perseverance of Ford. A ten-nation “Inter-Governmental Group for Indonesia,” including Japan, manages Indonesia’s debts and coordinates Indonesia’s aid. A corps of “qualified” native technocrats formally make economic decisions, kept in hand by the best American advisors the Ford Foundation’s millions can buy. And, as we have seen, American corporations dominate the expanding exploitation of Indonesia’s oil, ore, and timber. But history has a way of knocking down even the best-built plans. Even in Indonesia, the “chaos” which Ford and its modernizers are forever preventing seems just below the surface. Late in 1969, troops from West Java’s crack Siliwangi division rounded up five thousand surprised and sullen villagers in an odd military exercise that speaks more of Suharto’s fears than of Indonesia’s political “stability.” Billed as a test in “area management,” officers told reporters that it was an exercise in preventing a “potential fifth column” in the once heavily-PKI area from linking up with an imaginary invader. But the army got no cheers as it passed through the villages, an Australian reporter wrote. “To an innocent eye from another planet it would have seemed that the Siliwangi division was an army of occupation.”28 There is no more talk about land reform or arming the people in Indonesia now. But the silence is eloquent. In the Javanese villages where the PKI was strong before the pogrom, landlords and officers fear going out after dark. Those who do so are sometimes found with their throats cut, and the generals mutter about “night PKI.” 1. Richard M. Nixon, “Asia After Vietnam,” Foreign Affairs, October 1967, p. 111. 2. Soedjatmoko, “Indonesia on the Threshold of Freedom,” address to Cooper Union, New York, 13 March 1949, p. 9. 3. Sumitro Djojohadikusumo, untitled address to School of Advanced International Studies, Washington, D.C., 1949, p. 7. 4. Dean Rusk, “Foreign Policy Problems in the Pacific,” Department of State Bulletin, 19 November 1951, p. 824 ff. 5. Guy J. Pauker, “The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia,” Rand Corporation Memorandum RM-5753-PR, February 1969, p. 46. 6. Michael Max Ehrmann, The Indonesian Military in the Politics of Guided Democracy, 1957-1965, unpublished Masters thesis (Cornell University, Ithaca, New York, September 1967), p. 296, citing Col. George Benson (U.S. Army), U.S. military attaché in Indonesia 1956-1960. 7. Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959 Ithaca NY: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1966), p. 70. 8. Robert Shaplen, “Indonesia II: The Rise and Fall of Guided Democracy,” New Yorker, 24 May 1969, p. 48; Willard Hanna, Bung Karno’s Indonesia (New York: American Universities Field Staff, 25 September 1959), quoted in J.A.C. Mackie, “Indonesia’s Government Estates and Their Masters,” Pacific Affairs, Fall 1961, p. 352. 9. Guy J. Pauker, “The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia,” pp. 6, 10. 10. Ibid., p. 43. 11. W.F. Wertheim, “Indonesia Before and After the Untung Coup,” Pacific Affairs, Spring/Summer 1966, p. 117. 12. Ibid., p. 115. 13. Harsja W. Bachtiar, “Indonesia,” in Donald K. Emmerson, ed., Students and Politics in Developing Nations (New York: Praeger, 1968), p. 192. 14. Ibid., p. 55. 15. John Hughes, Indonesian Upheaval (New York: McKay, 1967), p. 132. 16. Ibid., p. 151. 17. “Silent Settlement,” Time, 17 December 1965, p. 29 ff. 18. Frank Palmos, untitled news report dated “early August 1966” (unpublished). Marginal note states that portions of the report were published in the Melbourne Herald at an unspecified date. 19. Harsja W. Bachtiar, op. cit., p. 193. 20. Ibid., p. 195. 21. H.E. Robison, “An International Report,” speech delivered at Stanford Research Institute, 14 December 1967. 22. J. Panglaykim and K.D. Thomas, “The New Order and the Economy,” Indonesia, April 1967, p. 73. 23. “Indonesia’s Potholed Road Back,” Fortune, 1 June 1968, p. 130. 24. W.F. Wertheim, “From Aliran Towards Class Struggle in the Countryside of Java,” paper prepared for the International Conference on Asian History, Kuala Lumpur, August 1968, p. 18. Published under the same title in Pacific Research 10, no. 2. 25. Gustav F. Papanek, “Indonesia,” Harvard Development Advisory Service memorandum (unpublished), 22 October 1968. 26. Jean Contenay, “Political Prisoners,” Far Eastern Economic Review, 2 November 1967, p. 225; NBC documentary, 19 February 1967. 27. Herbert Feith, “Blot on the New Order,” New Republic, 13 April 1968, p. 19. 28. “Indonesia — Army of Occupation,” The Bulletin, 22 November 1969. Sumber: Steve Weissman, ed., with members of the Pacific Studies Center and the North American Congress on Latin America, The Trojan Horse: A Radical Look at Foreign Aid (Palo Alto CA: Ramparts Press, 1975 revised edition), pp. 93-116. http://www.cia-on-campus.org/internat/indo.html (http://www.cia-on-campus.org/internat/indo.html)
Perempuan: Gender Trouble Posted: 13/12/2013 in Esei Tags: cybersastra, Feminisme, gender, Pascakolonialisme, polemik sastra, Sastra Indonesia, Saut Situmorang 1 oleh Saut Situmorang
Prologue
I Musim gugur 1981, Mainz, Jerman. Sebuah konferensi tentang “Peranan Perempuan di Afrika” berlangsung seperti konferensi akademis umumnya, dengan berbagai makalah yang membahas berbagai aspek dari tema konferensi dan diskusi apa adanya. Di hari terakhir konferensi sekelompok Feminis muda Jerman diundang untuk turut berpartisipasi. Hal pertama yang mereka lakukan adalah mengganti profesor laki-laki yang sejak hari pertama konferensi menjadi “moderator” diskusi dengan seorang mahasiswi yang fasih berartikulasi. Lalu mulailah acara diskusi berubah menjadi peristiwa pembuatan pernyataan-pernyataan dan komentar pribadi seperti dalam tradisi pertemuan-pertemuan kaum Feminis setelah para Feminis muda Jerman ini mulai membahas ide-ide Feminis radikal dalam buku Verena Stefan berjudul Shedding. Yang utama adalah soal hubungan mereka dengan ibu mereka: apakah mereka mesti berusaha menyadarkan ibu mereka untuk mulai menentang bapak mereka atau lebih baik untuk membiarkan saja ibu-ibu mereka itu dalam kondisi “ketertindasan” mereka masing-masing. Untuk beberapa waktu para perempuan Afrika yang hadir saat itu mendengarkan saja apa yang didebatkan para Feminis muda Jerman tersebut, tapi kemudian mereka mulai menjelaskan kepada para saudara-perempuan Jerman mereka itu bagaimana eratnya mereka rasakan hubungan mereka dengan ibu/anak masing-masing, dan bagaimana mustahilnya untuk berani membuat keputusan yang penting tanpa terlebih dulu saling meminta nasehat. (Sumber: The Post-Colonial Studies Reader, Bill Ashcroft et al., 1995, p. 251.)
II Sekitar pertengahan 1991, Wellington, Selandia Baru. Saya sedang duduk di ruangan kuliah kampus Universitas Victoria menunggu dimulainya mata-kuliah undergraduate “Puisi Modern”. Tiba-tiba seorang cewek londo kenalan saya muncul di pintu ruangan kuliah yang besar itu, melihat saya, dan berjalan mendatangi saya. Sebelum dia duduk di samping saya, tanpa maksud apa-apa kecuali sebagai basa-basi bahasa Inggris, saya menyapanya, “Hi, girl, what’s up?” Tiba-tiba saja wajahnya berubah muram, tak senang. Setelah duduk, dia berkata, “Don’t call me girl, I’m not a girl!” Saya, tentu saja, kaget setengah mampus melihat reaksinya itu. Untung saya cepat menyadari kesalahan saya, lalu saya buru-buru menjelaskannya, “Oh, sorry! I didn’t mean it like you think I did. I only meant it like when someone, whether that person is a he or a she, says, “Hi, boys!”. Sorry.” Siang itu adalah hari pertama saya memasuki dunia politik seksual bahasa.
III Ayu Utami dalam Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa, & Cerita (2003) membuat daftar “10+1 Alasan untuk Tidak Kawin” sebagai “sebelas alasan kenapa tidak menikah adalah sikap politik(nya)”. Pertanyaan saya bagi dia adalah: Kalau kumpul kebo adalah Feminisme, kenapa perkawinan bukan? Kalau perkawinan adalah konstruk sosial, apakah kumpul kebo bukan? Apakah seks, juga “Ayu Utami”, bukan konstruk kultural? *** Isu kritik Feminisme tiba-tiba menjadi topik polemik di koran-koran Jakarta beberapa waktu lalu. Awalnya adalah sebuah esei berjudul “Perempuan & Sastra Seksual” yang berisi kritik dari perspektif feminisme, religi, moral, etika, pendidikan, lingkungan, kapitalisme, pasar, dan estetis atas karya-karya para pengarang “sastrawangi” yang ditulis oleh seorang penyair perempuan cyborg bernama Medy Loekito yang diterbitkan di Jurnal Perempuan No. 30, Thn 2003, lalu di situs sastra cyberpunk Indonesia cybersastra.net, sebelum akhirnya di-upgrade jadi esei yang lebih panjang untuk buku kumpulan-esei Sastra Kota terbitan Dewan Kesenian Jakarta (2003). Versi reloaded inilah yang kemudian menimbulkan polemik koran dimaksud. Dalam esei ini, saya akan ikut berpolemik dengan melakukan studi teks atas tiga teks yang ditulis oleh tiga penulis Kelompok Belajar Nalar Jatinangor, Jawa Barat, yang muncul di koran Media Indonesia Minggu dan Koran Tempo Minggu sebagai reaksi atas esei Medy Loekito tersebut. Seorang “Pengajar pada Jurusan Sastra Inggris Unpad, Jatinangor [yang] menyelesaikan S-2 di Institute of Women Studies di Lancaster University, Inggris dan Kajian Wanita Pascasarjana UI” [saya gak ngerti apa relevansi semua info ini terhadap isi tulisannya!] dalam tulisannya berjudul “Mencium Sastrawangi, Menubuhi Diri” (Media Indonesia Minggu, 11/1/2004) mengakui “kebakaran jenggot” karena “kebingungan” memahami teks “Perempuan & Sastra Seksual” Medy Loekito yang saya sebut di atas, di mana, menurutnya, “Feminisme, religi, moral, etika, pendidikan, lingkungan, kapitalisme, pasar dan estetika adalah kerangka ‘tinjauan’ yang dilakukan [Medy] secara menakjubkan dalam 25 halaman tulisan buku dengan font yang cukup besar” karena tidak ada penjelasan atas kesemua label tersebut dan bagaimana Medy sendiri memandang semuanya itu. Medy diklaimnya bersalah tidak memberikan uraian definisi terutama atas apa yang dimaksudkannya sebagai “Feminisme” yang banyak ragamnya itu. Membaca tulisan berjudul “Mencium Sastrawangi, Menubuhi Diri” tersebut, entah kenapa, ada tiga hal yang membuat saya malah “kebingungan”. Pertama adalah nama penulisnya, “Aquarini P Prabasmoro”, di mana akhiran “-rini” pada nama pertamanya memaksa saya untuk memaknainya sebagai nama seorang “perempuan”. Kalau saya benar, maka bukankah sangat lucu bahwa seorang “perempuan” akan menyatakan dirinya “kebakaran jenggot” untuk mengisyaratkan rasa penasarannya atas sesuatu! Bukankah metafornya ini sangat tidak feminis bahkan cenderung anti-feminis, nggak ngonteks! Inilah hal kedua yang membuat saya “kebingungan” tadi. Dan yang ketiga, berdasarkan kedua hal yang saya sebutkan itu, saya sendiri tidak menemukan ada “penjelasan” definisi atas istilah “Feminisme” dalam tulisan Aquarini P Prabasmoro yang “kebakaran jenggot” itu, kecuali kutipan-kutipan dalam bahasa Inggris yang tidak diterjemahkan dan indeks-nama “feminis post-modern” [sic] dari negeri Perancis. Kalau pendapat para “Feminis Perancis” dianggap sebagai “kebenaran absolut” dalam membicarakan Feminisme, kenapa pendapat itu dikutip dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, bukan dalam bahasa aslinya? Bukankah ini cuma sebuah penceritaan-kembali yang diceritakan-kembali belaka, walau pretensinya asli? Apakah yang bisa dimaknai dari peristiwa “presesi simulakrum” begini? Saya memaknainya begini: Aquarini P Prabasmoro sendiri justru terperangkap dalam apa yang dituduhkannya pada Medy Loekito: tidak memberikan penjelasan definisi atas istilah “Feminisme” tapi malah membuat klaim tekstual bahwa “Feminisme Perancis” merupakan satusatunya Feminisme, walau dia juga menyatakan bahwa “banyak ragam feminisme”. “Feminisme” Medy Loekito, bagi dia, bukanlah sebuah “Feminisme”. Dalam kata lain, bagi sayamengutip apa yang dikatakan Aquarini P Prabasmoro sendiri dalam tulisannya yang cuma antologi-kutipan itu“menyatukan semua (Feminisme) dalam satu kotak [yaitu “Feminisme Perancis”] sungguh luarbiasa”. “Moralitas dan etika” yang ditekankan oleh Medy Loekito sebagai unsur penting dalam sebuah karya sastra juga dikomentari sebagai sebuah sikap yang “sangat patriarkal”, tapi bukankah “moralitas dan etika” dalam konteks posisi ketertindasan perempuan dalam suatu masyarakat patriarki justru merupakan satu unsur penting dari Feminisme, seperti yang bisa kita saksikan dalam kritik sekelompok Feminis atas pornografi dan majalah Playboy serta para “perempuan” yang terlibat di dalamnya! Sementara itu di hari Minggu yang sama, di koran Jakarta lain, seorang Bonardo Maulana W menulis tentang “Miopia Si Juru Tafsir” yang isinya juga menanggapi esei Medy Loekito dimaksud. Bagi “mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Pajajaran [yang] bergiat di Kelompok Belajar Nalar, Jatinangor” ini, hanya ada satu “pikiran” [sic] Medy Loekito yang ingin dibicarakannya, yaitu “bahwa bagian penting dari suatu karya sastra adalah kandungan moral dan etika, disamping parade kekuatan bahasa”. “[K]arya-karya yang bertolak dari ide tentang tubuh dan seksualitas,” yang menurut Bonardo Maulana dinyatakan oleh Medy Loekito, “telah membuat ‘ide feminisme teriritasi’”. Tapi, anehnya, apa yang sebenarnya membuat Bonardo “terkejut” justru bukanlah soal “kandungan moral dan etika, disamping parade kekuatan bahasa” yang menurut Medy merupakan “bagian penting dari suatu karya sastra” itu, melainkan apa yang dikatakannya sebagai yang dinyatakan oleh Medy bahwa Medy “mendasarkan diri pada teori sastra terbaru”. (Koran Tempo Minggu, 11/1/2004.) Kalau Aquarini P Prabasmoro “kebakaran jenggot” dengan Feminisme Medy Loekito, maka Bonardo Maulana “terkejut” dengan “isi/muatan” Feminisme Medy tersebut: “sungguh ganjil apabila Medy, sebagai perempuan, harus menoleh kepada Paus dengan wacananya yang patriarkal, untuk bisa menemukan kata yang tepat”. Medy, menurut Bonardo, seharusnya mengkritik “dominasi Patriarki” (Paus dengan wacananya yang patriarkal itu), “atas nama moral(-isme)”. Ada keanehan di sini, di samping keanehan-keanehan lain yang dominan dalam tulisan Bonardo tersebut. Secara sepintas kita seolah-olah diberitahu bahwa Medy Loekito tidak melakukan kritik, “sebagai perempuan”, terhadap wacana patriarkal yang menindas kepentingan perempuan yang direpresentasikan oleh Paus, padahal satu-dua alinea sebelumnya Bonardo menyatakan bahwa, “Obyek utama kritik [Medy Loekito] berfokus pada praktik kuasa patriarki beserta wacana yang melanggengkannya. Berkait dengan itu, gereja, dengan Paus sebagai bagian dari strukturnya, adalah salah satu lembaga yang dikritiknya. Paus dianggap melanggengkan dogma yang patriarkal”! Keanehan lain adalah dongeng Bonardo Maulana tentang Kritik Baru atau New Criticism di Amerika Serikat yang, menurutnya, menganggap moralisme dalam karya sastra merupakan vitalitas dan keanggunan karya sastra! Keanehan ini makin aneh lagi waktu dia menghubung-hubungkan New Criticism dengan penyair Zaman Victoria Inggris Matthew Arnold sampai kritikus Practical Criticism Inggris FR Leavis. Kesalahan tekstual (dia telah melakukan intentional and affective fallacies waktu menghubungkan “moralisme dalam karya sastra” dengan New Criticism yang justru menganggap moralisme tidak relevan dalam membahas karya sastra) maupun historis (dia menyatakan bahwa FR Leavis menulis “pada pertengahan 1970-an”, padahal Leavis sudah jadi paus sastra Inggris sejak tahun 1930an lewat majalah Scrutiny di mana dia jadi redakturnya!) pada fiksinya ini membuat saya menganggap bahwa si juru tafsir yang myopia itu sebenarnya adalah Bonardo Maulana W sendiri, bukan Medy Loekito. Juga terlalu gampangan, simplistik, dan tidak ilmiah, makanya anti-intelektual, untuk menyatakan seperti apa yang dinyatakan Mona Sylviana dalam tulisannya “Di Balik Ruang Kesadaran Bahasa Perempuan” (Media Indonesia Minggu, 25/1/2004) bahwa, “Peradaban yang kita huni adalah peradaban yang sangat laki-laki, sangat patriakat [sic]. Sampai sekarang pun, ideologi itu masih terus menerus memproduksi dan mereproduksi wacana. Begitu banyak ruang-ruang di mana perempuan ditaklukkan dan dibikin inferior, dihina dan dieksploitasi, diperas tak bedanya dengan tebu” waktu merujuk ke konteks budaya karya sastra yang dibicarakan Medy Loekito. Euforia ahistoris dan tidak kontekstual waktu menerima pemikiran Feminisme madein-the-West di kalangan intelektual perempuan di Indonesia, seperti yang ditunjukkan kutipan yang sangat klise di atas, cuma menunjukkan betapa naifnya kalangan intelektual perempuan Indonesia dengan realitas kehidupan para “saudara perempuan” mereka di negeri mereka sana, dan juga di negeri mereka sendiri. Contoh yang paling menyolok akan bisa ditemukan dengan mudah justru di dalam rumah tangga para intelektual perempuan Indonesia sendiri. Apa yang saya maksudkan adalah keberadaan “babu” (yang selalu berjenis kelamin “perempuan” dan disebut secara eufemistis sebagai “pembantu rumah tangga”) dalam, paling tidak, sebagian rumah tangga di kota-kota kecil dan besar di Indonesia. Keberadaan seorang atau dua orang “babu” dalam sebuah keluarga menunjukkan bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kelas menengah, kelas sosial yang jadi ciri-khas rumah tangga urban di Indonesia. Seorang “babu” adalah seorang pekerja yang, biasanya, mengerjakan semua pekerjaan yang secara “patriarkal” dianggap “tugas” seorang “ibu rumah tangga”: mulai dari memasak, menghidangkannya di meja makan, mengangkat piring-gelas kotor dari meja dan mencucinya, mencucimenjemur-menyetrika pakaian, membersihkan rumah (tidak jarang juga membersihkan luar rumah), ikut membantu mengasuh anak majikan (apalagi kalau masih kecil-kecil dan kedua majikan adalah pasangan-karier) dan belanja bahan masakan di warung atau di pasar. Jam bekerja seorang “babu” biasanya lebih lama daripada siapapun di Indonesia, apalagi dibanding dosen dan cerpenis. “Ibu rumah tangga”, baik yang berkarier maupun tidak, selalu akan membutuhkan kehadiran seorang “babu” dalam rumah tangganya, dan kebutuhan ini akan jadi lebih besar lagi pada mereka-mereka yang bekerja-karier, yang di Indonesia secara asal-asalan dianggap “Feminis” itu. Kehadiran “babu” dalam sebuah rumah tangga bahkan sudah mendapat nilai signifikansi di luar sekedar sebagai “pembantu rumah tangga” belaka, yaitu sebagai penanda status sosial. Tidak lengkap kesannya sebuah rumah tangga kelas menengah Indonesia tanpa kehadiran seorang “babu” dalam kehidupan sehari-harinya. Apakah “kemewahan hidup” seperti ini juga dimiliki oleh para “ibu rumah tangga”, terutama para perempuan-karier yang feminis di budaya Barat sana, yang pendapat-pendapatnya tentang “masyarakat patriarki” di mana mereka hidup ditelan mentah-mentah atau diterapkan begitu saja tanpa kritis oleh para “Feminis” Indonesia? Apakah para “ibu rumah tangga” terutama yang perempuan-karier di Indonesia dimaksud tidak bisa juga dianggap telah melakukan penindasan atas sesama perempuan Indonesia dalam “isu babu” ini? Kita tahu bahwa keberadaan “babu” dalam rumah tangga Indonesia adalah karena upah kerja mereka murah, malah sangat murah kalau kita pertimbangkan berapa jam-kerja yang mereka lakukan sehari-harinya. Murahnya upah kerja ini tentu saja karena disebabkan belum adanya penghargaan yang layak terhadap arti sebuah pekerjaan, terutama “pekerjaan kasar” yang tidak memerlukan pendidikan perguruan tinggi, di Indonesia. Realitas ekonomi ini tidak akan kita temukan di budaya Barat hingga hanya mereka-mereka yang benar-benar kaya raya sajalah yang sanggup untuk mempekerjakan “babu” untuk mengurus rumah tangga mereka. Di luar faktor ekonomi ini, bukankah secara ideologis tidak dapat diterima bahwa seorang perempuan yang mengklaim dirinya “Feminis” mempekerjakan seorang perempuan lain sebagai “babu” hanya untuk mengurusi “rumah tangga”nya. Ini namanya bad faith alias munafik. Dan beginilah realitas “Feminisme” di Indonesia. Begitu juga dengan asersi yang dibuat Mona Sylviana bahwa “Bahasa Indonesia tak terkecuali”, merupakan bahasa yang sangat laki-laki, salah satu ruang di mana perempuan ditaklukkan dan dibikin inferior, dihina dan dieksploitasi. Dia mengambil kesimpulan secara serampangan begini hanya berdasarkan satu entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (kata “lacur”) dan satu eufemisme atas peristiwa pemerkosaan yaitu “menggagahi”. Menyatakan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang sexist seperti yang dilakukan “cerpenis … yang tengah bergiat di kelompok belajar nalar” ini, tanpa mampu memberikan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, adalah sebuah perbuatan yang menghina nalar dan sok pintar. Dia mungkin begitu terperangkap dalam pesona pendapat-pendapat para pemikir Feminis Barat (yang saya curiga tidak dibacanya langsung tapi melalui penceritaan-kembali oleh penulis lokal lain) yang mengkritisi karakter bahasa-bahasa di budaya merekaseperti bahasa-bahasa Indo-Eropa dan Romanyang mereka klaim sebagai bahasa sexist karena bahasa-bahasa tersebut memiliki aspek “maskulin” dan “feminin” dalam tubuh linguistiknya. Apakah bahasa Indonesia memiliki kata-ganti penanda gender untuk “maskulin” dan “feminin” seperti “he” dan “she” dalam bahasa Inggris, misalnya? Dekonstruksi linguistik seperti yang ingin dilakukan kaum Feminis berbahasa Inggris sudah mencapai tingkat tak masuk akal ketika mereka menolak untuk memakai kata “history” bagi “sejarah” karena, menurut mereka, kata tersebut terdiri dari dua unsur, yaitu “his” (kata ganti kepunyaan untuk “laki-laki”) dan “story”, yang cuma bermakna “cerita (sejarah) laki-laki”. Mereka akhirnya menciptakan satu kata baru, sebuah kata yang “feminis” untuk “sejarah”, yaitu “herstory”, sebuah gabungan dari kata “her” dan “story”: cerita (sejarah) perempuan.
Dan apakah yang dimaksud dengan “eufemisme” seperti pada “menggagahi” sebagai ganti kata “memperkosa” itu? “Eufemisme” berasal dari bahasa Junani yaitu “eus-” (baik, menyenangkan) dan “phēmē” (berbicara) dan diartikan sebagai “pemakaian kata atau frase yang tidak ofensif untuk menggantikan yang (dianggap) ofensif atau menyakitkan”. Berdasarkan pemahaman arti definisi istilah “eufemisme” ini, apakah bisa dikatakan bahwa penggantian kata “memperkosa” menjadi “menggagahi” merupakan sebuah “upaya membuat perkosaan sebagai tindakan yang gagah”, seperti yang disimpulkan Mona Sylviana? Ciptaan laki-laki Indonesia sebagai “laki-laki patriarkal”kah eufemisme tersebut, istilah umum yang dipakai laki-laki Indonesiakah kata itu, atau cuma sebuah eufemisme bahasa jurnalistik media massa Indonesia yang frekuensi pemakaiannya tinggi justru dalam era kekuasaan diktator militer Orde Baru yang memang gemar membuat eufemisme sebagai politik bahasanya? Juga, apakah benar bahwa istilah “gagah” jelas bukan kata sifat yang diperuntukkan buat perempuan, seperti yang juga diklaim Mona Sylviana? Kalau benar, lantas istilah apakah yang akan kita pakai untuk merujuk kepada para perempuan yang terlibat dalam aksi-aksi “maskulin” seperti perang (“Cut Nyak Din itu anggun”?) atau kepolisian (“Mona itu seorang polwan yang luwes dan feminin”?)? ***
Apa yang dalam dunia lit. crit. (akronim dari “literary criticism”, atau kritik sastra) di Barat saat ini disebut sebagai “The Race for Theory”, atau perlombaan teori, dengan ciri-ciri khasnya seperti pemakaian jargon linguistik, dominannya pengutipan atas apa yang ditulis para nabinya, kecenderungan untuk melakukan interpretasi eksegesis teks, langkanya pembahasan terutama atas karya sastra kontemporer, kecenderungan untuk melakukan analisis yang mekanis atas bahasa, dan generalisasi yang keterlaluan atas budaya, telah menimbulkan salah-kaprah interpretasi waktu pengaruhnya sampai di Dunia Ketiga melalui dunia akademis, yang nota bene adalah institusi sistem pendidikan Barat juga. Dekonstruksi yang dilakukan oleh para teoritikus Barat atas tradisi pemikiran budaya mereka telah dengan tanpa sadar dianggap mencakupi juga dunia budaya para fan-club mereka di Dunia Ketiga seperti Indonesia hingga terjadilah sebuah monolithisme baru, sebuah meta-narasi baru, walau konon segala sesuatu yang “meta” begini sudah gak ngetren, ketinggalan zaman, modernis. Internalisasi dari “imperialisme teori”, atau “globalisme wacana”, seperti ini bisa dilihat pada tulisan Aquarini P Prabasmoro dalam konteks “tubuh perempuan”. Karena bahasa, menurut para “Feminis Perancis”, adalah “bahasa lakilaki” di mana “perempuan” adalah “the Other”, Yang-Lain-yang-ditindas, maka “tubuh” merupakan alat bagi perempuan untuk menciptakan “bahasa perempuan”. (Yang tidak dimengerti oleh Aquarini P Prabasmoro dan anggota “Kelompok Belajar Nalar Jatinangor” lain adalah konteks teoritis yang sedang direspons oleh para “Feminis Perancis” tersebut, yaitu teori psikoanalisis Jacques Lacan. Bagi Lacan, “phallus” adalah penanda utama dari “desire”, dan karena “ketaksadaran itu memiliki struktur seperti bahasa”, maka ketaksadaran dan bahasa itu “phallic”. Falogosentrisme psikoanalisis Lacan “yang menunjukkan bias laki-laki dalam sistem simbolisasi” inilah yang dikritik para “Feminis Perancis”. Bagaimana mungkin bisa membicarakan Teori “Feminis Perancis” tanpa juga membicarakan Teori Psikoanalisis Jacques Lacan! [Saya memakai “tanda-kutip” pada istilah “Feminis(me) Perancis” untuk menunjukkan bahwa banyak ragam Feminisme dalam Feminisme Perancis, sementara yang saya rujuk di esei ini hanya nama-nama yang dikutip oleh Aquarini P Prabasmoro.]) Konsep “tubuh perempuan” sebagai écriture féminine atau “tulisan (khas) perempuan” (woman’s language) secara konsisten bisa ditemukan khususnya pada tulisan-tulisan Luce Irigaray, walaupun Hélène Cixous juga percaya bahwa “menulis (bagi perempuan) adalah tentang/dari tubuh (perempuan)”, “perempuan tidak menulis seperti laki-laki, karena perempuan bicara dengan tubuh(nya)”. Teori somatik yang menghubungkan bahasa/tulisan dan tubuh perempuan begini memakai apa yang disebut sebagai “dimorfisme seksual”, yaitu perbedaan struktur antara genital laki-laki dan perempuan, sebagai sumber dari pen-jender-an bahasa dan style. Dan satu-satunya bagian tubuh yang selalu dipakai dalam peristiwa “writing is of the body” demi mencapai “bahasa (khas) perempuan” adalah genital perempuan, organ yang memang dilecehkan dalam psikoanalisis Freud, di mana perempuan dianggap sebagai laki-laki yang dikebiri yang mengidap “penis-envy”, cemburu-terhadap-penis. Membicarakan “tubuh perempuan” dalam tulisan-tulisan Irigaray dan Cixous dalam konteks discourse pemikiran “Feminisme Perancis” mungkin akan memberikan tekstasi atau textual ecstasy akademis, tapi bagaimana di luar tembok akadēmeia Dunia Ketiga? Kalau kita setuju dengan apa yang dikatakan Feminis Eksistensialis Perancis Simone de Beauvoir bahwa “Seseorang itu tidak terlahir, tapi menjadi, seorang perempuan… (dan) peradaban secara keseluruhan yang memproduksi makhluk ini… yang dideskripsikan sebagai feminin”, bukankah itu berarti bahwa “perempuan” merupakan konstruk sosial, sebuah konsep yang tidak universal, kontekstual? Dalam kata lain, “tubuh perempuan Indonesia”kah yang dimaksud oleh Irigaray dan Cixous dalam tulisan-tulisan mereka? Sementara itu, dalam konteks discourse pemikiran Feminisme secara umum sendiri, obsesi para “Feminis Perancis” terhadap “tubuh” sebagai sumber segalanya juga dikritik oleh para Feminis Barat lain sebagai langkah mundur ke mitos lama bahwa biologi menentukan segalanya, karena melupakan fakta bahwa gender adalah konstruk sosial ketimbang konstruk biologis.
Saya tidak menolak anggapan bahwa terdapat penindasan atas perempuan dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia, tapi membicarakan realitas tersebut dalam sebuah wacana intelektual yang sarat dengan pengaruh pemikiran dari luar budaya Indonesia seperti Feminisme, tidak bisa dilakukan secara hitam-putih dan tidak kontekstual seperti yang dicontohkan oleh “Kelompok Belajar Nalar Jatinangor” di atas. Seperti yang dinyatakan oleh Aquarini P Prabasmoro sendiri, ada “banyak ragam feminisme”, dan Feminisme perempuan kulit putih tidaklah universal relevansi pemikirannya. Kaum Feminis sendiri pun tidak bisa mengklaim diri mereka sebagai “representasi perempuan”, baik di budaya mereka masing-masing apalagi bagi semua perempuan di planet Bumi ini. Persoalan perempuan pascakolonial di Dunia Ketiga tentu berbeda dengan apa yang dianggap sebagai penindasan perempuan di Eropa Barat atau Amerika Utara. Persoalan perempuan di Jakarta saja pasti akan berbeda dengan apa yang menjadi persoalan utama perempuan di Jatinangor. Bukankah pengalaman “menstrual pains” pun tidak sama pada semua perempuan! Juga, persoalan “tubuh” bukanlah persoalan utama “perempuan” dalam masyarakat pascakolonial seperti Indonesia. Seperti pada contoh “babu” di atas, “kelas sosial” masih merupakan isu penting yang membedakan Feminisme Dunia Ketiga dari Feminisme Barat. Walaupun para pengarang “sastrawangi” dielu-elukan sebagai mengusung ide pembebasan tubuh perempuan Indonesia dalam karya prosa mereka, saya masih tidak percaya kalau mereka berani membebaskan tubuh mereka seperti para turis perempuan Barat di Pantai Kuta, Bali, misalnya. Istilah “perempuan” sendiri sudah merupakan sebuah persoalan teoritis. Apakah istilah “perempuan” hanya merujuk kepada mereka yang berorientasi seks “heteroseksual” dengan mengesampingkan mereka yang “homoseksual” atau lesbian? Bagaimana pula dengan “perempuan” yang orientasi seksualnya “biseksual”? Untuk itulah sikap sadar-sejarah diharapkan dari mereka-mereka yang bermain di dunia discourse kontemporer agar tidak gegabah seperti seorang komentator postmodernism dari Bandung yang mengklaim bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat posmo hanya karena sudah punya alamat e-mail!
Epilogue Ada semacam keberatan umum di kalangan Feminis terhadap tulisan-tulisan oleh penulis yang berjenis kelamin laki-laki yang bermaksud membicarakan topik-topik “Feminis”, atau yang dianggap sebagai “topik-topik Feminis” oleh kaum Feminis. Hal ini terjadi karena teori Feminis telah mempolitisasi semua manuver yang biasanya dilakukan penulis laki-laki hingga apa saja yang dilakukan penulis laki-laki memiliki kemungkinan untuk dianggap sebagai simptomatik dari persoalan dominasi laki-laki atas perempuan, suatu hal yang merupakan isu terpenting dari Feminisme. Seorang penulis laki-laki yang memutuskan untuk “melihat” Feminisme tidak mustahil akan menghadapi risiko dianggap terlibat dalam suatu aktivitas “melihat” yang cuma merendahkan perempuan sebagai sekedar objek voyerisme belaka. Penulis laki-laki tersebut akan dianggap telah menerapkan aturan-aturan dari suatu tatanan representasi simbolik yang memamerkan ide-ide perempuan sama seperti film dan majalah memamerkan tubuh perempuan demi untuk maksud-maksud yang sama: rasa ingin tahu yang vulgar dan pembangkit birahi. Tatanan representasi dimaksud kadang-kadang disebut “androsentris” karena berpusat pada laki-laki (asal kata Junani andros, “laki-laki), atau “falosentrik” karena dalam kebanyakan sistem pembedaan seksual, “phallus” dianggap sebagai signifier (penanda) utama dari laki-laki, khususnya dalam konteks teori psikoanalisis. Selama ide kepemilikan atas “phallus” adalah sama dengan kepemilikan atas kekuasaan dalam sebuah masyarakat falosentrik, maka istilah yang dipakai oleh kebanyakan Feminis untuk mendeskripsikan sebuah tatanan representasi simbolik yang juga berorientasi kepada laki-laki adalah “falokrasi” (asal kata Junani kratos, “kekuasaan”; bandingkan dengan istilah “kraton” dalam konsep kekuasaan Jawa). Dan sistem sosial yang memiliki kaitan dengan tatanan falokrasi inisebuah sistem yang memungkinkan laki-laki untuk mendominasi perempuan dalam semua relasi sosialdikenal dalam wacana Feminisme sebagai “patriarki”. Penindasan yang terjadi karena dominasi patriarki termanifestasi sebagai “seksisme” (sexism).
Berdasarkan pemahaman seperti inilah maka dalam tatanan pengetahuan yang falokratik seperti yang terdapat dalam masyarakat patriarki, peristiwa “melihat” yang berakibat terjadinya “pemahaman”, berkemungkinan besar menjadi eksploitasi. Laki-laki menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang mesti “dikuasai” sama seperti perempuan yang juga mesti dikuasai. Maka setiap laki-laki yang “menguasai” teks-teks Feminisme telah berdosa melakukan replikasi, di tingkat wacana (discourse), atas praktek-praktek penindasan yang memungkinkan laki-laki mensubordinasi dan memanipulasi perempuan. Demikianlah retorika keberatan umum yang bisa ditemukan di kalangan Feminis, terutama yang disebut sebagai “Feminis radikal”, terhadap tulisan-tulisan laki-laki mengenai topik-topik Feminis, yang dimaksudkan untuk membuat laki-laki tidak memasuki perdebatan kaum Feminis karena laki-laki dianggap sudah didiskualifikasi untuk bisa ikut perdebatan. Kesadaran akan realitas ini tentu akan sangat membantu laki-laki untuk berhati-hati dalam memasuki wacana pemikiran yang disebut sebagai Feminisme itu. (Feminist Literary Studies: An Introduction, KK Ruthven, 1990.)
Jurus Mabuk Saut Posted: 09/12/2013 in Esei Tags: boemipoetra, Goenawan Mohamad, kanon, polemik, Puthut Ea, Salihara, Sastra Indonesia, Saut Situmorang, TUK 2 oleh Puthut Ea* Ada banyak celometan yang ditujukan kepada Pak Goenawan. Namun menurut saya hanya satu orang yang benar-benar menjadi penantang serius sang begawan Salihara yakni Saut Situmorang. Apakah yang lain tidak serius? Ada yang sedikit serius, ada yang hanya bisa berisik, bahkan ada yang oportunistik. Tapi yang benar-benar melawan dengan menyeluruh, tangguh, hanya bisa saya dapatkan pada diri Saut. Apa sih maksud melawan Sang Begawan dengan oportunistik? Jika kemudian ada ‘sogokan’ panggung, kegiatan atau bantuan maka mereka menjadi lembek dan terkooptasi. Lalu apa sih maksudnya melawan dengan berisik? Mereka yang melawan Sang Begawan tanpa argumen memadai, (https://boemipoetra.wordpress.com/2013/12/09/jurus-mabuk-saut/amsterdam10_small/) hanya mengumpat, tidak jelas maunya apa, tidak terang alasannya Saut Situmorang mengapa. Saut mengumpat. Ia juga mencaci dengan kecenderungan yang kasar. Tapi ia punya argumen yang kokoh. Banyak orang terutama yang ikut-ikutan menentang kekuasaan Pak Goen hanya meniru ‘kekasaran’ Saut. Mereka lupa membaca dengan cermat esai-esainya yang runtut dan jernih. Umpatan atau cacian pun bisa dibaca sebagai ragam ekspresi khas Saut. Tapi juga bisa dibaca lebih dalam dengan kerangka teoritik sebagaimana para pendahulu kita melawan hegemoni bahasa yang tertib, halus dan santun dengan bahasa yang lugas, langsung, cenderung kasar. Ekspresi tersebut dipilih dengan sadar dan bukan asal-asalan. Kekuatan lain Saut adalah soal integritas. Saut menolak karyanya masuk nominasi sebuah penghargaan dan menjelaskan alasannya. Ia bukan tipe orang yang ‘ada maunya’. Kalau ‘maunya’ sedang difasilitasi bisa berubah jadi anak baik-baik. Ia bukan orang yang seperti itu. Bagi Saut, semua hal bisa jadi cara dan propaganda untuk melawan dominasi Pak Goen. Dari mulai minum bir, diskusi formal, buku, blog, media sosial, semua adalah arena pertempuran dimana ia akan memposisikan diri sebagai lawan Pak Goen. Selain memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, Saut juga diberkati ilmu komunikasi yang baik. Ia propagandis sekaligus agitator yang ulung. Anda yang tidak tahu Pak Goen atau dunia kebudayaaan maupun sastra di Indonesia, duduk setengah jam saja dengan Saut akan terbuka peluang menjadi pembenci Pak Goen. Ditambah dengan selera humor yang lumayan, lengkaplah senjata Saut. Saut adalah nabi kecil lain yang sedang dan terus membangun kekuasaannya yang khas, berhadapan dengan kekuasaan besar Sang Begawan. Setidaknya dalam amatan saya sekitar 15 tahun. Bukan waktu yang pendek untuk kemampuan melawan sebuah rezim kuat, mewah dan punya banyak sekali modal. Saut adalah gerilyawan tulen, keras dan gigih. Mungkin dalam panggung kebudayaan republik ini, Saut adalah fenomena yang pantas diberi tempat tersendiri. Dalam ingatan saya belum ada seorang penyair cum intelektual seperti Saut yang melawan sebuah dominasi kelompok elit kebudayaan dengan konsisten dan awet. Saya yakin ada banyak orang baik yang dekat sekali maupun agak dekat dengan Sang Begawan yang risih dengan kehadiran dan jurus mabuk Saut. Pak Goen yang dulu menganggap sepele kehadiran Si Gimbal dengan suara serak sengau bariton itu pun lama-lama jengah juga. Tapi Pak Goen nyaris tidak bisa melakukan apa-apa. Ia dalam posisi dilematis. Kalau melayani Saut berarti ia akan ikut terus mengangkat performa pengganggunya itu. Jika tidak dilawan, Saut semakin bisa memperluas arena pertempuran. Hal yang sama terjadi juga bagi orang-orang di sekitar Sang Begawan. Mereka pura-pura tidak peduli Saut. Tapi sesungguhnya mereka sangat terganggu. Sialnya, Saut tidak bisa ‘dibeli’. Seakan-akan menghancurkan dominasi Sang Begawan adalah salah satu tugas hidup Saut, alasan eksistensialnya, yang dilakukan dengan riang dan bergairah. Problem besar Saut saya kira adalah dia tidak berhasil membangun kapasitas orang-orang yang ikut dalam rombongannya. Dan tampaknya Saut belum melakukan pengorganisasian perlawanan yang baik dan terstruktur. Jurus mabuk masih efektif di fase seperti ini. Tapi ada fase selanjutnya. Dalam ilmu perang, jurus mabuk adalah sistem gerilya yang fungsinya untuk mengganggu. Tapi untuk menganvaskan musuh tetap di tangan pasukan infanteri yang masif, kuat dan solid. Mari kita lihat babak selanjutnya… *Puthut Ea, prosais, tinggal di Jogjakarta Sumber: https://www.facebook.com/notes/puthut-ea/jurus-mabuk-saut/10151885730158167?notif_t=comment_mention (https://www.facebook.com/notes/puthut-ea/jurus-mabuksaut/10151885730158167?notif_t=comment_mention)
boemipoetra