Follow dhistyafirnady
Home Ask me anything! Archive Mobile RSS Search
I write what I see Photo July 19, 2016
ELECTRONIC GAMES, YAY OR NAY? Pada masa kini, anak-anak merupakan bagian dari Generasi Z. Mereka lahir, tumbuh, dan berkembang di era teknologi, sehingga penggunaan gadget merupakan hal utama dalam kehidupan. Berbeda dengan generasi sebelumnya, anak-anak pada generasi Z cenderung menggunakan gadget sebagai media utama untuk bermain. Sehingga, tingkat bermain electronic games lebih tinggi daripada bermain menggunakan alat permainan lain seperti balok dan boneka. Beberapa contoh electronic games yang sering dimainkan anak masa kini antara lain games yang dimainkan melalui Play Station, TV, smart phone, tablet, dan laptop. Terdapat beberapa sisi positif ketika seorang anak bermain electronic games, yaitu : Menstimulasi area kognitif, seperti dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, spasial, atensi, dan memori yang baik. Memberikan pengetahuan baru dan menstimulasi area akademis, contohnya adalah games yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar dan tugas dalam games seperti mewarnai dan menghitung (pada games edukasi). Meningkatkan kreativitas anak. Anak menyukai tantangan. Anak mengembangkan kepercayaan diri saat ia berhasil menyelesaikan suatu tugas/misi dan dapat ‘naik level’. Namun, ada pula hal yang perlu diperhatikan orangtua, yaitu : Risiko kecanduan tinggi. Electronic games dikatakan dapat menstimulasi motorik anak, benarkah? Electronic games menstimulasi anak untuk melakukan gerakan berulang seperti menyentuh, menggeser layar, dan memencet-mencet tombol di stik. Sementara permainan lain tidak hanya membuat anak memencet dan menggeser saja, tapi juga menstimulasi anak untuk memindahkan benda, menggunting, menggenggam, mengoles, dan sebagainya. Risiko gangguan kesehatan fisik, seperti kebutuhan gerak menurun sehingga risiko obesitas meningkat, iritasi kulit, dan pembengkakan beberapa area tubuh. Risiko gangguan tidur, seperti waktu tidur berkurang, kesulitan tidur saat malam hari, mengalami mimpi, dan sleepwalk. Risiko gangguan kesehatan mental, seperti adiksi, empati rendah, masalah emosi, dan menghindari kontak sosial Risiko mengalami masalah akademis, gangguan belajar, dan motivasi yang menurun. Mama dan Papa dianjurkan untuk selalu memperhatikan dan mendampingi anak saat bermain electronic games dengan melakukan penyortiran sebelum memberikan games kepada anak. Mama dan Papa dapat melihat konten games yang diinginkan anak, apakah mengandung hal-hal berbau kekerasan, seksualitas, penghinaan, dan hal lainnya yang bersifat kurang mendidik anak. Pilihlah games yang bersifat edukatif, bermoral, dan memiliki tantangan sesuai usia anak. Mama dan Papa juga dapat mengecek kesesuaian games dengan usia anak melalui keterangan yang ada di box CD electronic games atau membaca review orang di internet. Mama dan Papa juga dapat melakukan pendampingan dengan cara bermain bersama anak! Kegiatan bermain electronic games akan menjadi sesuatu yang sangat mengasyikkan jika dilakukan bersama-sama. Mama, Papa, Kakak, dan Adik dapat saling berlomba-lomba atau justru bekerjasama dalam menyelesaikan tantangan yang diberikan. Tentunya tanpa bosan saya akan mengatakan lagi bahwa bermain bersama anak akan meningkatkan kualitas interaksi orangtua-anak yang super banyak manfaatnya. Selain itu, setting the limit juga merupakan bagian penting dari pendampingan. Buatlah perjanjian rumah tangga dengan anak mengenai kapan ia dapat bermain electronic games (misalnya saat weekend dan libur sekolah), durasi bermain, dan pemilihan games. Berbicara mengenai durasi yang ideal, jika usia anak berada di rentang usia dua sampai tujuh tahun, durasi bermain dianjurkan tidak lebih dari 30 menit sampai 2 jam. Jika anak berusia tujuh tahun keatas, Mama dan Papa dapat membuat kesepakatan kepada anak mengenai durasi yang ideal, namun usahakan tetap tidak lebih dari dua jam dalam satu hari utnuk menghindari risiko adiksi. Jika anak merasa waktu yang diberikan terlalu singkat, Mama dan Papa dapat menyiasatinya dengan membagi-bagi waktu bermain. Misalnya, 30 menit setelah mandi pagi, 30 menit setelah makan siang, 30 menit setelah mandi sore, dan 30 menit sebelum tidur malam.
“A child’s play is not simply a reproduction of what he has experienced, but a creative reworking of the impressions he has acquired” -Vygotsky
Picts source : Google Tags: Parenting children development Child Problems Electronic games Text July 14, 2016
INDULGENT/PERMISSIVE PARENTING Hello again, Mama & Papa! It feels so good to be back here again setelah ikutan libur lebaran :) Oh ya, sebelumnya saya ingin mengucapakan selamat hari raya Idul Fitri bagi yang merayakan :) Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas indulgent/permissive parenting. Apa itu indulgent/permissive parenting? Indulgent/permissive parenting merupakan salah satu tipe parenting yang dikategorisasikan oleh Baumrind (1971). Pada tipe parenting ini, orangtua menunjukkan perilaku yang sangat responsif namun kurang memberikan kontrol dan tuntutan pada anak. Mereka menunjukkan rasa sayang yang sangat banyak namun tidak memberikan arahan dan aturan yang jelas di dalam rumah. Pada tipe parenting ini, orangtua lebih mendekatkan diri sebagai teman anak dibandingkan sebagai orangtua. Adapula karakteristik indulgent/permissive parenting, yaitu; Memberikan aturan/standard rumah tangga yang sedikit pada anak Inkonsisten pada aturan yang dibuat Lebih sering menunjukkan rasa sayang dan perhatian Menggunakan mainan, makanan, uang, atau hadiah lainnya untuk membentuk perilaku anak Cenderung mempersiapkan lingkungan, bukan mempersiapkan anak untuk menghadapi lingkungan Lalu, what’s good dari indulgent/permissive parenting? Sebagian orangtua yang menerapkan parenting seperti ini percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan orangtua dan sedikitnya aturan yang diberikan akan membuat anak menjadi lebih kreatif dan percaya diri terhadap apa yang ia lakukan. Namun, perlu diketahui pula bahwa dengan menerapkan indulgent/permissive parenting akan menuntun anak menjadi lebih dominan, memiliki kemampuan menunggu yang rendah, tidak bisa dikontrol oleh orang lain di kemudian hari, mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial, dan tidak siap menghadapi dunia saat ia mulai tumbuh dewasa. Untuk mencegah beberapa hal negatif diatas, sebaiknya orangtua memberikan rasa sayang, perhatian, dan respon yang seimbang dengan tuntutan dan aturan yang konsisten. Selain itu, orangtua juga diharapkan dapat mempersiapkan anak untuk mengahadapi lingkungan, seperti dengan membiarkan anak mencoba hal baru dan memberikan konsekuensi atas apa yang anak lakukan. Tags: parenting Text July 01, 2016
Keterlambatan Bicara Pada Anak Belakangan ini persentase keterlambatan bicara pada anak dan masalah bicara lainnya cukup meningkat. Padahal, kemampuan bicara dan bahasa sangat berguna sebagai salah satu indikator penentu perkembangan anak dan kemampuan kognitif yang baik. Terdapat beberapa hal yang dapat mengindikasi keterlambatan bicara pada anak. Seorang anak mengalami keterlambatan bicara jika perkembangan ekspresifnya tidak sesuai dengan perkembangan normal. Adapula karakteristik perkembangan bicara dan bahasa normal, yaitu; 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Usia bayi : Berkomunikasi melalui simbol, seperti senyuman dan tangisan. Tangisan dapat menyimbolkan bahwa ia lapar, popok sudah penuh, sakit, atau merasa terancam Sekitar usia 2 - 4 bulan : Cooing, atau mengeluarkan suara seperti “aaa” dan “oooo” Sekitar usia 6 bulan : Babbling, atau mengeluarkan suara berulang seperi “babababa” , “papapapa”, dan “mamamama” Usia 10 - 18 bulan : Kata pertama, seperti “Mama” , “Papa”, “Susu” Usia 18 - 24 bulan : Menggabungkan dua kata, seperti “Mau susu” , “Bye-bye” , “Mana bola”. Usia 24 bulan : Pengingkatan kosa-kata. Usia 36 bulan - keatas : Dapat berbicara satu kalimat utuh dan mulai mengembangkan struktur dalam berbicara, seperti “Papa mau kemana?” , “Mama mau pergi ke pasar”, “Kakak mau ikut”.
Selain itu, Mama dan Papa dapat melihat apakah simptom keterlambatan bicara muncul pada anak. Simptom-simpton itu antara lain; 1. 2. 3. 4.
Usia 12 bulan : Tidak dapat menyuarakan satu kata Usia 24 bulan : Tidak dapat menyuarakan kata secara baik dan utuh, seperti “Cuu” untuk mengatakan susu dan “Dong” untuk mengatakan gendong. Sekitar usia 24 - 30 bulan : Tidak dapat menggabungkan dua kata, seperti “Mau susu” ; “Sepatu ayah”. Usia 36 bulan : Tidak dapat mengatakan satu kalimat untuk aktivitas sehari-hari seperti “Aku mau biskuit”.
Dan… pertanyaan yang sering muncul adalah “Apakah kesalahan dalam menyebutkan kata termasuk kedalam kategori keterlambatan bicara?”. Kembali lagi pada usia anak Mama dan Papa. Pada tahun pertama sampai kedua, penyebutan kata yang kurang tepat merupakan hal yang wajar. Pada usia itu anak belum memperhatikan secara detil bagaimana cara menyebutkan sebuah kata dengan benar. Selain itu, pada usia satu tahun, mereka juga baru mengembangkan kemampuan artikulasi sehingga sangat wajar jika anak mengalami eror dalam menyebutkan kata. Lalu, apa saja faktor yang berkontribusi dalam keterlambatan bicara pada anak? Beberapa faktor yang berkontribusi dalam keterlambatan bicara pada anak, antara lain : Masalah pada perkembangan dan fungsi otak. Masalah pada kemampuan pendengaran. Masalah pada kemampuan oral motor. Terdapat riwayat keterlambatan bicara atau gangguan komunikasi lainnya pada keluarga. Kurang stimulasi dan pengasuhan neglectful (mengabaikan anak). Penggunaan multilanguages dalam berkomunikasi dengan anak. Hal itu terjadi saat sebuah keluarga menggunakan lebih dari satu bahasa dan tidak ada bahasa ibu*) dirumah. Anak akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengerti makna bahasa-bahasa yang digunakan dan cenderung mengalami kebingungan, sehingga kemampuan berbicara menjadi terganggu. Penggunaan gadget yang berlebihan dan tidak sesuai dengan usia anak. Apa yang dapat Mama dan Papa lakukan jika sekiranya anak tidak memenuhi perkembangan bahasa normal dan memiliki simptom keterlambatan bicara? Stimulasi perkembangan bahasa anak melalui aktivitas seperti mendongeng, bermain games yang melibatkan aktivitas berbicara, dan melakukan tanya jawab. Contohnya dengan menceritakan kegiatan Mama, seperti “Kak, Mama kan tadi ke pasar sama bude, terus mama beli ikan. Kakak besok mau ga mama masakin ikan?….. Mama juga tadi di pasar liat banyak banget sayuran, ada wortel, tomat, bayam,…… Kalau kakak suka sayur apa?”). Dorong anak untuk mengekspresikan kebutuhan mereka dan dengarkan dengan sabar. Bagaimana jika anak salah menyebutkan kata atau kalimat? Tetap berikan apresiasi, benarkan kata yang salah dengan baik (contoh : Maksud kakak “Bus” ya..), dan jangan memarahi anak di depan umum. Memberikan perhatian khusus terhadap stabilitas emosi dan perilaku anak karena anak yang mengalami keterlambatan atau kesulitan bicara cenderung menunjukkan perilaku yang tidak diharapkan dan emosi yang naik turun. Hal itu terjadi karena mereka kesulitan mengekspresikan kebutuhan. Jika terdapat multilanguages di dalam keluarga, gunakan salah satu bahasa sebagai bahasa ibu untuk berkomunikasi dengan anak. Sesuaikan bahasa yang digunakan anak dengan bahasa pengantar di sekolahnya (jika anak sudah bersekolah). Batasi pemakaian gadget. Pergi ke ahli seperti psikolog anak, dokter anak, dan/atau neurolog anak untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Menjalankan terapi wicara jika dibutuhkan dan diberikan rujukan oleh ahli.
*)Bahasa ibu : Bahasa utama yang digunakan di rumah Tags: Children development language development speech delay parenting Quote June 24, 2016 1 note "Child development doesn’t mean developing your child into the person you think they should be, but helping them develop into the best person they are meant to be" — Toni Sorenson Tags: Friday quotes children development Parenting Video June 22, 2016
Mendukung Perkembangan Otak Anak Saat pertama kali saya menonton video diatas, I couldn’t agree more with those explanations. Video itu menjelaskan tentang bagaimana cara mendukung perkembangan otak yang sehat pada anak. Dapat diketahui bahwa otak anak cenderung berkembang melalui pengalaman. Perkembangan otak didukung dengan adanya proses pembelajaran learning by experiences atau belajar melalui pengalaman dari lingkungan sekitar, khususnya lingkungan rumah yang memegang peran pengasuhan utama. Kita dapat mengibaratkan perkembangan otak anak sebagai rumah yang sedang dibangun. Agar rumah tidak roboh, maka rumah itu membutuhkan pendukung, yaitu sebuah pondasi yang bagus dan kokoh. Otakpun begitu, otak anak memerlukan dasar yang bagus agar dapat berkembang secara maksimal dan sehat. Lalu hal apa saja yang dapat menunjang perkembangan otak anak yang sehat? Apakah menstimulasi perkembangan otak anak harus selalu melalui stimulasi kognitif? Apakah dengan mengajarkan matematika dan ilmu pengetahuan dapat membantu perkembangan otak anak? Adakah hal-hal lain yang tidak kalah penting untuk membantu perkembangan otak anak? Hal pertama yang dapat menunjang perkembangan otak anak adalah interaksi orangtua - anak yang positif. Pada video diatas hanya disebutkan interaksi antara orang dewasa yang mengasuh dan anak. Pada bahasan kali ini, saya ingin menspesifikkan orang dewasa yang mengasuh anak tersebut adalah orangtua. Mengapa? Karena orangtua memegang peran paling utama dan tidak tergantikan dalam menunjang perkembangan anak sepanjang hidup. Interaksi orangtua - anak dapat membantu perkembangan otak dan menjaga perkembangannya melalui interaksi serve-and-return, atau perilaku saling merespon. Interaksi orangtua - anak dapat berupa kontak mata, sentuhan, bermain games bersama, bernyanyi bersama, dan perilaku interaktif seperti ibu menjawab pertanyaan anak atau anak menoleh saat dipanggil ibu. Beberapa perilaku itu merupakan stimulasi bagi otak anak, sehingga ia dapat menanamkan banyak nilai, pembelajaran, dan pengalaman positif di otaknya. Interaksi orangtua - anak diyakini memiliki pengaruh jangka panjang terhadap perkembangan anak sampai dirinya beranjak dewasa. Selain itu, fungsi mental dan kesehatan fisik yang baik juga merupakan hasil dari interaksi orangtua - anak yang positif. Hal kedua adalah memaparkan anak pada good stress, atau stress yang baik bagi perkembangan anak. Adakah stress yang baik? Ada. Orangtua perlu mengetahui bahwa tidak semua stress berdampak negatif pada diri seseorang. Dengan memberikan “tekanan” yang sesuai pada seseorang, stress justru memberikan kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi dan memecahkan masalah. Salah satu good stress yang dapat membantu perkembangan otak anak adalah bertemu dengan orang baru dan belajar untuk mempersiapkan diri untuk tes. Kedua hal itu membantu anak untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi di lingkungan baru, meningkatkan kemauan anak untuk belajar dan mengeksplorasi, mengatasi kecemasan, dan mempersiapkan diri untuk sebuah kegagalan. Hal ketiga adalah menghilangkan toxic stress, atau stress yang memiliki efek negatif pada proses belajar, perilaku, dan kesehatan anak. Toxic stress dapat berupa pengabaian dan penelantaran, pengasuhan yang kurang tepat, orangtua tidak merespon saat anak bertanya atau mengemukakan pendapat, dan tindak kekerasan baik secara verbal maupun fisik. Hal keempat yang dapat menunjang perkembangan otak anak yang sehat adalah dengan melatih kemampuan sosio-emosional dan regulasi diri anak. Kedua hal itu diyakini dapat membantu anak dalam memiliki perencanaan dan jiwa sosial yang baik, dapat memahami dan mentaati aturan, dan mampu mengatur stress dengan baik. Beberapa hal yang dapat Mama dan Papa lakukan dalam melatih kemampuan sosial dan regulasi diri anak, antara lain : Positive reward, seperti memuji anak setelah ia melakukan suatu hal yang baik atau memberlakukan sistem reward (contoh : anak mendapatkan 1 bintang untuk masing-masing perilaku baik/yang diinginkan, jika ia mendapat 50 bintang maka ia berhak mendapatkan hadiah. *)note : berikan sesuatu yang bersifat edukatif, bukan dalam bentuk uang ataupun makanan). Mengenalkan nilai dan norma, baik nilai dan norma dalam keluarga maupun sosial. Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan adalah dengan mendongeng “Si Kancil” yang mengajarkan anak bahwa perilaku mengambil barang orang lain itu tidak baik; “Malinkundang” yang mengajarkan anak untuk hormat kepada orangtua; “Bangau dan Rubah Makan Bersama” yang mengajarkan toleransi terhadap perbedaan; dan lain-lain. Memberikan kesempatan bagi anak untuk pengambilan keputusan, seperti apa yang mau ia makan, baju apa yang mau ia pakai, dan hal lainnya. Hal ini pun dapat mengajarkanya untuk bertanggung jawab atas diri sendiri. Ajarkan anak untuk bisa berbagi dengan orang lain, seperti bermain bersama atau memberikan makanan yang ia punya ke orang lain. Biasakan anak bertemu orang dan lingkungan baru, seperti mengajaknya ke taman, perpustakaan, acara keluarga, atau kelas minggu. Melatih kemampuan menunggu pada anak (dapat dibaca di artikel sebelumnya https://raqqiconsulting.com/2016/02/02/kemampuan-menunggu-pada-anak/ ). Melatih kemampuan anak untuk mengenali dan mengontrol emosi. Contohnya, setelah ia marah tanyakan padanya bagaimana perasaannya, apa yang membuatnya marah, dan hal apa yang dapat membuatnya menjadi lebih baik. Atau saat ia senang, tanyakan padanya hal apa yang membuatnya senang, apa yang ia lakukan saat dirinya senang, dan apa yang harus dilakukan agar dirinya tetap senang. Tags: parenting children development brain development Text June 15, 2016
7 Things You Can Do With Your School-Age-Child at Home Hi Mama! Senang sekali rasanya saat anak sedang libur. Apakah Mama dan Papa sudah punya rencana untuk mengisi waktu liburan si Kakak? Apakah Mama merasa ingin liburan tetapi karena puasa, rasanya tidak memungkinkan untuk bepergian? Atau apakah Mama masih bingung dalam menentukan kegiatan yang tepat untuk anak? Tenang saja, mengisi waktu liburan tidak harus bepergian ke luar rumah. Pada artikel ini, saya akan memberikan tips mengenai 7 kegiatan yang dapat Mama lakukan bersama anak di rumah saat ia sedang libur. 1. Memasak bersama, misalnya Mama meminta bantuan anak untuk memotong-motong sayuran atau mencetak adonan. Aktivitas itu dapat melatih kemampuan motorik halus anak, lho. Selain itu, memasak bersama pun dapat meningkatkan kepercayaan diri sang anak. Kok bisa? Karena anak merasa bahwa dirinya memiliki potensi untuk menyajikan makanan, apalagi jika ditambah pujian manis dari Mama dan Papa :) 2. Mendekorasi ulang kamar si Kakak. Yap yap! mendekorasi ulang kamar anak bisa menjadi suatu opsi kegiatan saat libur. Mama dan anak dapat mendekorasi kamar dengan barang bekas, seperti kardus bekas yang dibungkus kertas kado untuk menyimpan mainan anak atau menjadikan mainan anak sebagai hiasan kamar. Adapula link yang mungkin dapat menginspirasi Mama mendekorasi ulang kamar si kakak http://www.architectureartdesigns.com/20-diy-adorable-ideas-for-kids-room/ ; http://www.woohome.com/interiors/top28-most-adorable-diy-wall-art-projects-for-kids-room ; https://id.pinterest.com/pin/418342252868683366/ ; http://www.diyncrafts.com/7285/organization/50-clever-diy-storage-ideasorganize-kids-rooms 3. Do-It-Yourself Project, seperti membuat clay, kartu ucapan selamat berlibur untuk teman, bingkai foto, boneka, dan hal lainnya menggunakan media barang bekas. Melalui aktivitas ini Mama mengajarkan anak untuk memanfaatkan barang yang sudah tidak terpakai, membantu meningkatkan kreativitas anak, melatih motorik halus, dan mendorong anak untuk berkarya. 4. Fun science atau membuat eksperimen ilmiah sendiri di rumah, seperti eksperimen gunung merapi, membuat bubble kotak, lava lamp, dan eksperimen lainnya yang dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=YmafohV2RX8 . Melalui aktivitas ini, Mama dapat memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi, menambah pengetahuan, menambah ketertarikan anak pada dunia sains, dan meningkatkan kemauan anak untuk bergerak aktif secara alami. Mengapa begitu? Pada masa kini, sering kali kita melihat anak belajar melalui gadget. Hal itu menyebabkan mereka tidak berinteraksi dengan alam secara langsung, seperti merasakan tekstur tumbuhan, mengamati, dan menyentuh binatang secara langsung. Selain itu, dengan terbiasa belajar melalui gadget, kebutuhan gerak anak menjadi tidak tersalurkan atau justru hal itu membuat anak menjadi malas untuk bergerak. 5. Camping di rumah dapat dilakukan dengan membangun tenda kecil di pekarangan rumah. Sambil camping, Mama dan anak dapat berpura-pura sebagai petualang. Berikanlah anak kesempatan untuk menjelajahi alam seperti mengenali perbedaan bunga, daun, dan buah dari masing-masing pohon yang ada di pekarangan rumah ; mengamati hewan seperti serangga, kadal, cicak, dan kucing ; dan mengamati bintang pada malam hari. 6. Thematic play, misalnya rencanakan permainan hari ini dengan tema bermain air, dan besoknya bermain menggunakan kardus. 7. Menonton bersama. Mama dapat mengajak anak untuk memilih film apa yang ingin ditonton bersama (tentunya film-film harus Mama seleksi dulu ya :) berikan tontonan yang bersifat edukatif, tidak mengandung unsur kekerasan, dan pornografi tentunya). Setelah menontoh film bersama, Mama dapat berdiskusi santai dengan anak mengenai film itu. Mama dapat bertanya mengenai ringkasan film, pesan dari film itu, hal positif apa yang dapat dicontoh, dan perasaan anak saat menonton film. Hal itu dapat menstimulasi memori anak, fungsi kognitif (saat ia menceritakan ulang alur cerita, dan mengambil insight dari film), dan melatih kemampuannya untuk mengenali emosi pada kondisi tertentu. Selain dapat menebas kebosanan dan menstimulasi perkembangan anak, beberapa kegiatan diatas dapat meningkatkan kualitas interaksi orangtua - anak, lho Mams! Dengan melakukan kegiatan bersama, Mama dan anak dapat menjalin interaksi dua arah melalui komunikasi, kontak mata, dan perilaku saling merespon. Selain itu, kebutuhan afeksi anak dapat terpenuhi melalui senyuman dan sentuhan yang Mama berikan saat beraktivitas bersama. Melakukan kegiatan-kegiatan diatas pun tentunya akan muncul rasa senang, bahkan dapat menjadi sarana melepas emosi dan stress bagi kedua pihak. Tags: parenting liburan libur panjang liburan anak children children development Quote June 13, 2016 "It’s not about how fast your child is growing up or time flies so fast. It’s all about how you enjoy parenting your child" —
Originally posted by thedailydoodles Tags: parenting children development Text June 12, 2016
Sekolah Sebentar Lagi, Siapkan Anak Untuk Bersosialisasi Sebentar lagi, para kakak akan segera memasuki jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Pasti Mama dan Papa sedang bersemangat mempersiapkan baju seragam, membelikan buku pelajaran dan alat tulis untuk si kakak. Namun… Sebelum itu, Mama dan Papa harus memperhatikan hal paling utama sebelum anak mulai bersekolah, yaitu kesiapan sekolah. Kesiapan anak untuk sekolah tidak hanya diukur melalui usianya saja (7 tahun keatas). Kesiapan sekolah juga diukur melalui kematangan anak dalam area fisik-motorik, kognitif dan akademis, juga sosial-emosional. Pada pembahasan kali ini, saya akan lebih fokus pada area sosial. Mengapa? karena pada usia 6-7 tahun (usia sekolah), anak sedang mengembangkan self esteem dan self confident. Ia dapat menilai what’s good and what’s bad pada dirinya. Sebagai orangtua, sebaiknya kita dapat mendorong anak untuk mengenali dirinya agar kepercayaan diri juga ikut berkembang. Selain itu, salah satu tugas perkembangan anak usia sekolah adalah dapat membina hubungan sosial dengan orang lain, ditandai dengan memiliki peer group. Tentunya, untuk memiliki peer group atau kelompok pertemanan, seorang anak harus memiliki kemampuan sosial yang baik. Oleh karena itu, tidak hanya aspek fisik-motorik, kognitif, dan akademis saja yang penting untuk dipersiapkan sebelum anak memulai sekolah. Terdapat beberapa hal yang dapat Mama dan Papa lakukan untuk melatih kemampuan sosial anak, yaitu : 1. Membawa anak ke tempat umum untuk melatihnya berinteraksi dengan oranglain, seperti pasar. Mama dan Papa dapat meminta tolong pada anak untuk membelikan sesuatu, misalnya membeli teh dan gula. Tidak hanya melatih kemampuan sosial, melalui aktivitas ini anak juga dapat belajar matematika melalui aktivitas menghitung uang yang ia berikan ke penjual dan uang kembalian :) 2. Ikut sertakanlah anak pada kegiatan summer camp atau pesantren kilat. Melalui kegiatan itu, anak dapat belajar beradaptasi di lingkungan baru, memulai pertemanan, membina hubungan baik dengan teman dan orang lain, juga belajar untuk jauh dari rumah dan orangtua agar nantinya anak dapat mengurangi kecemasan berpisah saat mulai sekolah. 3. Opsi kegiatan lainnya adalah dengan mengikut-sertakan anak dalam kegiatan holiday program. Sama halnya seperti tips nomor 2, kegiatan itu dapat membantu anak belajar cara beradaptasi dengan orang baru, memulai pertemanan, dan membina hubungan baik. Melalui holiday program, anak juga dapat mengenali potensi dirinya. Misalnya, ia menikmati program fun science dengan membuat percobaan gunung merapi saat mengikuti kegiatan holiday porgram. 4. Berdiskusi dengan anak. Mama dan Papa dapat memulai diskusi dengan anak tentang bagaimana ia akan bersosialisasi di sekolah nantinya, seperti “Nanti kalau mulai sekolah, Kakak mau punya temen berapa banyak?”,”Kalau ada temen baru, diajak kenalan ga, Kak?”, “Kalau sama temen ngapain aja ya nanti disekolah?”, “Kalau teman mengalami kesulitan, Kakak mau bantuin temennya gak?”, dan hal lainnya. 5. Melakukan Role Play. Mama dan Papa dapat bermain peran dengan berpura-pura menjadi teman anak, baik menjadi teman yang menyenangkan dan kurang menyenangkan. Melalui aktivitas ini, Mama dan Papa memediasi anak untuk memahami kejadian-kejadian yang mungkin terjadi saat sekolah. Ia akan mengerti bahwa di sekolah tidak hanya ada teman yang menyenangkan saja, tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan mendapatkan teman yang kurang menyenangkan. Anakpun dapat mengembangkan kemampuan adaptasi dan menyelesaikan masalah saat berhadapan dengan berbagai jenis teman di dunia nyata. 6. Mengunjungi calon sekolah (dan bertemu dengan guru atau calon teman jika memungkinkan) agar anak dapat mengenali lingkungan sekolahnya dengan baik. Hal itu dapat membuatnya lebih cepat beradaptasi dan mengurangi perasaan malu. 7. Tanamkan nilai kemandirian anak sejak dini, agar ia terbiasa melakukan hal-hal tanpa bantuan Mama dan Papa di sekolah. Kemandirian dapat dilatih melalui kegiatan sehari-hari seperti meminta anak membereskan tempat tidur sendiri, menaruh piring setelah makan, mengambil minum sendiri, memakai baju sendiri, dan hal lainnya. 8. Memuji dan mengapresiasi anak atas pekerjaannya. Hal itu berguna untuk meningkatkan kepercayaan diri anak yang nantinya juga berguna di sekolah, misalnya ia bersedia maju ke depan saat diinstruksikan guru tanpa rasa malu dan ragu. Tags: parenting school readiness kesiapan sekolah middlechildhood anakusiasekolah socialskill Quote June 09, 2016 "To be in your children’s memories tomorrow, you have to be in their lives today" — Barbara Johnson Tags: parenting Friday quotes Photo June 08, 2016
MY “NO” - AND “WHY’ - TWO YEARS OLD CHILD Photo source https://id.pinterest.com/pin/43276846396665277/
MY “NO” - AND - “WHY” - TWO YEARS OLD CHILD Hi Mama, apakah anak dua tahun Anda sedang gemar-gemarnya berkata “Nggak! Ngga mau!” atau kerap bertanya “Ini apa?”, “Itu apa?”, “Ini kenapa?” berulang kali? Salah satu rekan saya, sebut saja Mama F yang memiliki anak berusia 26 bulan mulai kelimpungan melihat anaknya yang sering tidak mau mengikuti keinginannya sebagai orangtua. “Anak gue sukanya milih makanan sendiri, kalo diambilin makanan dia langsung gamau makan” ucapnya. Menurutnya, saat menginjak usia dua tahun anak perempuannya ini memang lebih sering ngambek dan menangis jika dilarang. Berbeda hal dengan Mama N yang memiliki anak berusia 30 bulan, anaknya selalu melontarkan pertanyaan untuknya. Tidak jarang Mama N harus memutar otak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya. Pada suatu hari, Mama N pernah terkejut oleh anaknya yang belum 3 tahun ketika ia bertanya “Kenapa air minum putih? Aut airnya kok biru” (Re: “Kenapa air minum warnanya putih? Sementara air laut warnanya biru”). Mama tidak perlu khawatir saat anak toddler*) Anda terlihat seperti pembangkang kecil yang cerewet, yang selalu berkata “Tidak” dan tidak berhenti mengoceh. Perilaku mereka sering dikenal dengan sebutan The Terrible Twos. Menurut Papalia dan Feldman (2012), Terrible twos merupakan perilaku yang normal terjadi pada anak usia toddler karena sebenarnya terrible twos merupakan sebuah tanda bahwa anak sedang mengembangkan kemampuannya untuk menjadi pribadi yang mandiri. Pada masa-masa ini, anak memang terdorong untuk melakukan hal-hal sesuai keinginan, ide, pilihan, dan keputusan mereka. Contohnya pada anak usia 2 tahun, mereka sudah mulai memilih sendiri baju apa yang ingin mereka pakai. Dorongan untuk melalukan segala sesuatu sesuai keinginan sendiri menimbulkan hal yang dinamakan negativism, yaitu perilaku yang selalu menolak kehendak orang lain (khususnya orangtua). Tidak heran, jika anak Anda mulai sering berkata “Nggak mau!” saat Anda meminta sesuatu padanya. Lalu, sampai kapan Mama akan mengalami “kelimpungan” seperti ini? Normalnya, Terrible Twos dimulai +- saat anak berusia 2 tahun, mencapai puncaknya pada usia 3 - 4 tahun, dan akan mulai berkurang sebelum usia 6 tahun. Agar rasa kelimpungan Mama berkurang, berikut saya sajikan beberapa tips-tips untuk menghadapi The Terrible Twos : Selalu jawab pertanyaan anak! Mama diharapkan untuk tidak mengabaikan pertanyaan anak. Hal itu akan menunjukkan bahwa Mama merupakan pribadi yang responsif pada kebutuhan anak dan ia dapat meningkatkan kepercayaan terhadap Mama :) Jika Mama belum tahu jawabannya, katakan yang sejujurnya. Mama bisa berkata “Mama belum tau kak, yuk kita cari bareng-bareng jawabannya”. Ajak anak untuk mencari jawaban bersama-sama, misalnya dengan melihat di ensiklopedia atau browsing. Tentunya browsing hanya digunakan untuk mencari jawaban & dampingi anak ya, Mama :) Bagaimana jika ia bertanya mengenai hal yang belum sesuai dengan usianya? Jelaskan dengan kata-kata yang singkat dan mudah ia mengerti. Bolehkan berbohong? Tidak. Buat limitasi dengan memberikan beberapa opsi. Misalnya, saat Mama ingin mengajaknya pergi ke pesta, siapkan 2 - 3 baju dan tawarkan ke-tiga baju tersebut padanya. Mama dapat berkata “Kak, kita mau ke pesta nih. Nah tiga baju ini baju pesta, kakak mau pake baju yang mana?”. Be Flexible, explain, and let them learn, kenali apa yang anak sukai dan tidak. Jika ia bersikeras ingin mengenakan baju rumah saat Mama ingin mengajaknya ke mall, biarkan. Setelah itu, tanyalah padanya di hari yang sama mengenai baju yang ia kenakan. Apakah pantas? Apakah orang lain memakai baju sepertinya? Apa rasanya saat ia berbeda dari orang lain?. Berikan pilihan aktivitas alternatif, seperti “Kakak mau mandi sekarang atau setelah baca buku?“. Katakan pada anak mengenai apa yang Mama harapkan, misalnya “Nanti di taman kita main didalam aja ya, kita ngga akan main diluar” dan harus konsisten. Mengingat anak sedang mengembangkan perilaku negativism, putar balik instruksi Mama. Akan sulit untuk berkata “Mainnya udahan ya”, katakanlah “Mainnya 3 menit lagi ya, selesai ngga selesai Mama pulang”. Dan ingat, konsisten ya Ma.
*)Toddler adalah periode perkembangan anak diantara usia bayi dan masa awal kanak-kanak atau dapat disebut dengan anak usia dibawah tiga tahun. **) Ilustrasi cerita Mama F dan N sudah disetujui oleh pihak terkait untuk dipublikasi Tags: parenting toddlerhood toddler early childhood development terribletwos Next »
About
Interested in early childhood development, parenting, parent - child interaction, & therapeutic riding // contact me via
[email protected]
People I follow
Powered by Tumblr. Minimal Theme designed by Artur Kim.